Secara politik, upaya merevisi UU Peradilan Militer akan sulit terlaksana saat ini, karena politisi Senayan 'tidak mau kehilangan dukungan' keluarga besar TNI dalam Pemilu 2024.
Di balik ini semua, Chairul menduga ada banyak pihak yang ikut menikmati uang haram hasil korupsi Basarnas. Hal ini terkait dengan pernyataan Kabasarnas yang menyebut bahwa uang hasil dugaan korupsi itu juga digunakan dalam operasional Basarnas.
Baca Juga:
Setyo Budiyanto Terpilih sebagai Ketua KPK: OTT Tetap Senjata Utama
"Sehingga bisa merepotkan TNI jika hal ini dibuka lebar-lebar. Untuk melokalisirnya makanya kasus ini kemudian ditangani POM TNI," katanya.
Menurutnya, dengan dalih tidak ada perintah atasan yang berhak menghukum (Ankum) dan perwira penyerah perkara (Papera) dalam sistem peradilan militer, maka pihak-pihak lain itu 'aman' untuk tidak diproses.
Peluang mekanisme peradilan umum
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan kasus dugaan korupsi Basarnas bisa diadili di peradilan umum jika ada tim koneksitas. Sebab menurutnya, tindak pidana yang dilakukan Marsdya Henri Alfiandi tidak termasuk tindak pidana militer.
Baca Juga:
Lima Pimpinan Baru KPK Ditetapkan, Setyo Budiyanto Jadi Ketua
Kasus ini terjadi di lembaga pemerintah dan menimbulkan kerugian negara.
"Ya seharusnya kalau itu dilakukan koneksitas, kalau koneksitas jelas itu ke pengadilan umum," kata Alex di Gedung KPK, Jakarta, Senin (31/7).
Dia mengatakan wacana pembentukan tim koneksitas antara KPK dan Puspom TNI saat ini masih dibahas. Menurutnya, Ketua KPK Firli Bahuri dan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono terus berkomunikasi dalam penanganan perkara korupsi Kabasarnas.