Terlebih lagi, Basarnas yang dikukuhkan dengan UU No. 29 Tahun 2014 adalah lembaga pemerintahan sipil yang berkoordinasi langsung di bawah Presiden.
Kasus korupsi di Basarnas dinilai sebagai pelanggaran atas kepentingan umum. Karena itu, walaupun tindak pidana tersebut dilakukan oleh anggota TNI aktif, hal itu menjadi kompetensi absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Baca Juga:
Soal OTT Capim KPK Johanis Tanak dan Benny Mamoto Beda Pandangan
Selain itu, UU No. 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tipikor menegaskan bahwa Pengadilan Tipikor adalah pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum. Pengadilan inilah yang dinilai lebih tepat mengadili kabasarnas yang juga merupakan anggota militer, atas dugaan kasus korupsi.
"Jika Mahfud hanya menyandarkan pada satu UU saja (UU No. 31/1997) menunjukkan 'keberpihakan' yang bersangkutan atas sikap keras kepala TNI yang 'ngotot' sebagai yang berwenang menangani perkara korupsi Kabasarnas," kata Chairul yang juga penasihat ahli Kapolri bidang hukum.
Chairul Huda menilai Mahfud MD tidak berpihak pada penegakan hukum secara murni dan konsekuen, tetapi berpihak pada "game of the rule" Orde Baru. Keberpihakan ini dianggap sebagai anti-klimaks posisi politik Mahfud sebagai pejabat pemerintah yang lain dari perjuangan orde reformasi.
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
"Mahfud dan pimpinan KPK wajar jika dicap sebagai pengkhianat cita-cita reformasi hukum. Jadi masalah ini tidak bisa dirujuk dengan satu UU, saya menggunakan 6 atau 7 UU," kata Chairul.
Dia menilai kasus dugaan korupsi Basarnas seharusnya menjadi momentum bagi Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU Peradilan Militer. Meskipun upaya merevisinya sudah sejak awal reformasi, tetapi hingga kini belum juga berhasil.
"Karena TNI belum juga mau bersepakat mengejawantahkan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 tahun 2004," katanya.