Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengatakan pihaknya sejalan dengan Menko Polhukam bahwa TNI tunduk pada Peradilan Militer sesuai UU Nomor 31 Tahun 1997. Meskipun dalam UU TNI diatur peradilan umum bagi prajurit.
"TNI tetap tunduk pada hukum dan saya tidak akan melindungi," ujarnya.
Baca Juga:
Setyo Budiyanto Terpilih sebagai Ketua KPK: OTT Tetap Senjata Utama
Ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda mengkritik pernyataan Mahfud yang hanya merujuk satu undang-undang dalam kasus ini. Menurutnya, pernyataan Mahfud boleh jadi benar secara politik, tapi tidak tepat secara hukum.
Selain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, ada undang-undang lain yang harus dijadikan rujukan. Di antaranya UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2021 tentang Tindak Pidana Korupsi.
UU TNI merevisi hakikat UU Peradilan Militer
Baca Juga:
Lima Pimpinan Baru KPK Ditetapkan, Setyo Budiyanto Jadi Ketua
Dalam sejarahnya, Undang-Undang Peradilan Militer dibuat di masa Orde Baru saat TNI (dahulu ABRI) menjadi kekuatan politik dominan. Sehingga tidak mengherankan jika personel TNI tunduk sepenuhnya kepada kompetensi absolut peradilan militer.
Namun kini, 'hakikat' UU Peradilan Militer telah direvisi oleh orde reformasi melalui UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Di sana diatur apabila anggota TNI melanggar kepentingan umum maka tunduk kepada peradilan umum.
Korupsi merupakan tindak pidana yang melanggar hak asasi, sosial dan ekonomi masyarakat. Karenanya, korban sejati dari tindak pidana ini adalah masyarakat pada umumnya, bukan militer.