WahanaNews.co | Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, mengklaim, terdapat peningkatan risiko korupsi
apabila limbah batu bara alias Fly Ash
Bottom Ash (FABA) tak dicabut dari kategori bahan berbahaya dan beracun
(B3).
Lili menilai, peluang
pemanfaatan sebagai bahan baku pada industri konvensional juga minim jika
limbah batu bara tak dicabut dari kategori B3.
Baca Juga:
Gandeng IPB, PLN Kembangkan Pemanfaatan FABA di Bangka Belitung
"Tentu dengan dimasukkannya FABA
sebagai limbah B3 dapat meningkatkan risiko korupsi pada tata kelola FABA. Dan
kurangi peluang pemanfaatannya secara maksimal sebagai bahan baku pada industri
konvensional," kata Lili, dalam webinar yang digelar KPK, Senin
(22/3/2021).
Namun, Lili tak menjelaskan secara
rinci celah korupsi yang ditimbulkan apabila FABA tak dicabut dalam kategori
limbah B3.
Ia hanya menyebut Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah dan Bahan Beracun yang
memasukan FABA menjadi kategori B3 menimbulkan peningkatan biaya.
Baca Juga:
Limbah Batu Bara Diolah Jadi Pupuk, Bisa Hemat Rp 7,4 Miliar/Tahun
Menurutnya, terdapat peningkatan 74
rupiah per KWH pada unsur peningkatan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) PLN pada 2019.
Kenaikan ini berakibat pada kenaikan
BPP per KWH secara signifikan untuk pembangkit-pembangkit listrik di luar Pulau
Jawa.
"Seperti PLTU Labuan Angin di
Sumatera sebesar 790,65 rupiah per KWH," kata dia.
Selain itu, Lili mengatakan, memasukkan FABA ke kategori limbah B3 berbeda dengan penerapan di
negara-negara lain.
Menurutnya, Jepang, Amerika Serikat,
Australia, China dan Eropa sudah tak mengategorikan FABA sebagai limbah non-B3.
"Berdasarkan hasil studi
literatur, pengkategorian FABA sebagai limbah B3 tidak sesuai dengan praktik di
dunia internasional. Di beberapa negara, FABA sudah dikategorikan sebagai
limbah non-B3," ujarnya.
Direktur Monitoring KPK, Agung Yudha
Wibowo, menilai, FABA dapat dimanfaatkan dengan baik
untuk banyak industri di Indonesia, seperti industri produksi bahan baku semen,
conblock, hingga pupuk.
"Pemanfaatan FABA secara benar
dan memenuhi standar internasional akan mendorong perekonomian nasional,"
kata Agung.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo
mencabut limbah batu bara, FABA, dari kategori limbah berbahaya
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Aktivis lingkungan ramai-ramai
mengkritik keputusan Jokowi tersebut.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai, aturan
tersebut berpotensi memberi ruang pencemaran lingkungan semakin luas. [qnt]