Sementara itu, lanjutnya, KBGO mencakup berbagai bentuk kekerasan berbasis gender di dunia maya, tetapi sering kali tidak memiliki kerangka hukum yang spesifik dan komprehensif.
Dalam hal perlindungan korban, UU TPKS memberikan perlindungan dan dukungan yang lebih terstruktur bagi korban KBSE. Sebaliknya, korban KBGO sering kali menghadapi kesulitan dalam mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
Baca Juga:
Kasus Dokter Lecehkan Istri Pasien Berakhir dengan Penyerahan Uang Damai Rp 350 Juta
“Penegakan hukum untuk KBSE dalam UU TPKS lebih tegas dan terarah dibandingkan dengan KBGO yang menggunakan UU ITE, yang tidak dirancang khusus untuk menangani kekerasan berbasis gender,” jelasnya.
Tohom menyebutkan, meskipun KSBE dan KBGO sama-sama memanfaatkan teknologi untuk melancarkan aksinya, tetapi perbedaan definisi, kategori, dan penanganan hukumnya menjadikannya dua entitas yang berbeda.
“Intinya sih, masih banyak hal yang harus dilakukan untuk memastikan efektivitas UU TPKS dalam memerangi KBGO. Juga perlu upaya berkelanjutan dari banyak elemen untuk meningkatkan pemahaman tentang KBGO maupun KSBE, mendorong pelaporan, dan memastikan penegakan hukum yang adil dan berpihak pada korban,” ungkap Tohom.
Baca Juga:
Kasus Persetubuhan Anak di Parimo, Kompolnas Dorong Penyidik Terapkan UU TPKS
Platform Crowdsourcing
Tohom mengakui, masih terdapat sejumlah kendala dalam penegakan hukum kasus KBGO, antara lain keterbatasan pemahaman aparat hukum terkait KBGO, kurangnya bukti digital yang mendukung laporan korban, serta stigma dan ketakutan korban untuk melapor.
“Hakim cenderung memilih menggunakan UU ITE dalam kasus KBGO ketimbang UU TPKS, karena sebagai undang-undang baru, proses implementasinya masih sulit. Selain itu, UU ITE memiliki sanksi lebih berat dibandingkan UU TPKS,” beber Tohom.