"Jangan sampai kita mau pindah ke digital, koar-koar ke dunia luar bahwa Indonesia sudah digital, tapi makan korban. Korbannya siapa? Teman-teman TV lokal," kata Nico.
Dia mengatakan, kebijakan ini membuat TV lokal berada di ujung tanduk. Mereka harus memikirkan nasib para pekerjanya. Di sisi lain, ASO memaksa lembaga penyiaran lokal untuk mengeluarkan investasi yang cukup besar untuk mendapatkan slot siaran berbasis digital kepada lembaga penyelenggara MUX.
Baca Juga:
Kemenkominfo Katakan Bahwa Penetrasi Siaran TV Digital Sudah Dekati Normal
Hal ini diperparah dengan kondisi industri televisi saat ini yang harus bersaing dengan platform-platform baru media berbasis internet untuk mampu mendatangkan pengiklan.
"Kalo yang umum harganya Rp25 juta per bulan. Kalo stasiun besar mungkin bisa bayar, kalau stasiun TV lokal kan berat sekali. Itulah yang saya bilang nggak adil. Kayaknya sulit sekali TV lokal untuk bertahan hidup," ujarnya.
Nico mengusulkan kepada pemerintah untuk memberikan kelonggaran kepada lembaga penyiaran lokal, misalnya menyediakan kanal khusus TV lokal secara gratis dalam jangka waktu tertentu. Cara ini dinilainya mampu membantu TV lokal untuk bertahan dan mengikuti siaran berbasis digital.
Baca Juga:
Cara Cek Jangkauan Sinyal TV Digital
"Perlu ada keberpihakan pemerintah dalam hal ini untuk TV lokal. Itu penting sekali," pungkasnya.
Di tempat terpisah, Ketua Umum Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) Bambang Santoso menyesalkan tidak adanya kejelasan bahkan perlindungan hukum terhadap TV lokal terkait sewa-menyewa MUX atau frekuensi.
"Banyak TV lokal di daerah-daerah sudah teriak soal ini. Kami tidak mau dijerat hukum. Kami menuntut keadilan agar TV-TV lokal dapat bersiaran dengan nyaman dan tidak dirugikan,” tegasnya.