Disampaikan Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri, ke-12 kasus
tersebut terdiri dari perkara yang sudah maupun sedang diusut lembaga penegak
hukum. Sebagian besar kasus melibatkan kepala daerah. Oleh karena itu, KPK pun
prihatin dan memantau penuh gelaran Pilkada serentak, termasuk di NTB.
Baca Juga:
Soal OTT Capim KPK Johanis Tanak dan Benny Mamoto Beda Pandangan
"Ini memprihatinkan bagi kita," ujar Firli Bahuri, Minggu
(25/10/2020).
Firli pun juga mengungkapkan, pada daerah lainnya yakni di
Jawa Barat sebanyak 101 kasus, Jawa Timur 93 kasus, kemudian 73 kasus di
Sumatera Utara. Lalu di Riau dan Kepulauan Riau sebanyak 64, DKI Jakarta 61,
Jawa Tengah 49, Lampung 30, Sumatera Selatan 24, Banten 24, Papua 22 kasus,
Kalimantan Timur 22, Bengkulu 22, Aceh 14, Nusa Tenggara Barat 12, Jambi 12 dan
Sulawesi Utara.
Selanjutnya yakni Kalimantan Barat 10 kasus, Sulawesi
Tenggara 10, Maluku 6, Sulawesi Tengah 5, Sulawesi Selatan 5, Nusa Tenggara
Timur 5, Kalimantan Tengah 5, Bali 5, dan Sumatera Barat sebanyak 3 kasus.
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
"Dari sebaran 34 provinsi, 26 daerah itu pernah terlibat
korupsi," kata Firli
Firli mengharapkan, 8 dari 34 provinsi yang belum ditemukan
tindak pidana korupsi oleh KPK untuk terus berbenah diri dan mencegah
terjadinya tindak pidana korupsi. Begitu juga daerah-daerah yang pernah diusut
KPK.
Firli menambahkan, sejak 2004 hingga 2020, kasus kepala
daerah tersebut paling banyak adalah kasus suap, sebanyak 704 kasus.
"Jadi kasus korupsi yang terjadi 2004 sampai 2020 itu
paling banyak karena kasus suap, itu 704 kasus. Di proyek 224 perkara,
penyalahgunaan anggaran 48 kasus dan TPPU sebanyak 36. Ini kasus-kasus yang
melibatkan kepala daerah," kata Firli.
Dalam kesempatan sama, Firli juga mengingatkan potensi
tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan Pilkada. Berdasar hasil Survei
Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada oleh Direktorat Penelitian dan
Pengembangan KPK pada tahun 2015, 2017, dan 2018, ditemukan bahwa potensi
adanya benturan kepentingan berkaitan erat dengan profil penyumbang atau
donatur.
Menurut Firli, sumbangan donatur atau dari hasil survei KPK
menemukan bahwa sebesar 82,3 persen dari seluruh calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada.
Sesuai catatan survei KPK, total harta rata-rata pasangan
calon adalah Rp18,03 Miliar. Bahkan, ditemukan pula ada satu pasangan calon
yang hartanya minus Rp15,17 juta. Padahal, berdasar wawancara mendalam dari
survei KPK itu, diperoleh informasi bahwa untuk bisa mengikuti tahapan Pilkada,
pasangan calon di tingkat Kabupaten/Kota harus memegang uang antara Rp5-10
Miliar, yang bila ingin menang idealnya musti mempunyai uang Rp65 Miliar.
Di kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Center for Budget
Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai KPK memang perlu mengawasi pilkada
Sumbawa, apalagi dalam Pilkada itu terdapat adik dari Gubernur NTB H
Zulkieflimansyah yakni Dewi Noviani
"Tentu bisa berpontesi adanya dinasti politik. Potensi
penggunaan anggaran dan fasilitas gubernur untuk calon pilkada juga harus
mendapat perhatian. KPK juga perlu memasang mata mengawasi di sana,"
katanya.
Uchok berharap jangan sampai ada kecurangan atau permainan
dari Gubernur NTB yang dapat menguntung salah satu pasangan calon pilgub
Sumbawa.
"Itu sangat dilarang jika sampai terjadi,"
tegasnya.