WAHANANEWS.CO, Jakarta - Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, bercerita kembali ketika para tokoh dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah bersatu menggugat Undang-Undang pengelolaan Minyak dan Gas Nomor 22 Tahun 2001 ke MK.
Hal ini diungkapkan Mahfud dalam acara podcast Terus Terang di kanal Youtube pribadinya @MahfudMDOfficial, diunggah Selasa (25/11/2025).
Baca Juga:
Lahan Negara Dijual Lagi ke Negara, KPK Usut Dugaan Korupsi di Proyek Whoosh
Dalam podcast tersebut, dia teringat tokoh NU Kyai Hasyim Muzadi yang juga pernah menjadi Ketua Umum PBNU menjadi pemohon perkara uji materi UU Migas tersebut, bersama tokoh Islam lainnya, termasuk Professor Din Syamsuddin, yang pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
"Mereka datang ke kantor saya (mengeluhkan) 'Pak, pengelolaan tambang Migas ini Pak, korupsi di mana-mana, saya sudah lapor ke DPR enggak didengar, saya minta tolong MK yang memutus'," kata Mahfud menirukan para pemohon perkara dengan nomor 36/PUU-X/2012.
Kedua tokoh organisasi terbesar umat Islam di Indonesia itu kompak datang dan disatukan oleh bentuk ketidakadilan pengelolaan migas yang saat itu dipegang oleh BP Migas.
Baca Juga:
Koramil di Bandung Terbitkan Izin Keramaian Disorot Mahfud MD, Kodim Buka Suara
Sehingga saat itu, MK yang diketuai oleh Mahfud MD memutuskan membubarkan BP Migas karena ada beragam bukti pengelolaan tambang di Indonesia penuh dengan korupsi.
"Antara pengatur dan pelaksana di lapangan itu sama. Yang mengevaluasi sama, korupsinya banyak sekali, sehingga BP Migas saya bubarkan," ucapnya.
Dalam ikhtisar putusan MK nomor 36/PUU-X/2012 dijelaskan, ada 42 pemohon dalam perkara tersebut yang merupakan tokoh dan organisasi yang terafiliasi dengan umat Islam.
Pemohon pertama disebutkan adalah PP Muhammadiyah, kemudian ada juga Hizbut Tahrir Indonesia, Pusat Persatuan Umat Slam, Pusat Syarikat Islam Indonesia, dan Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam.
Sedangkan perwakilan NU diwakili perseorangan dari Kyai Achmad Hasyim Mizadi. Terlihat juga beberapa tokoh seperti Ali Mochtar Ngabalin, A.M Fatwa, Hendri Yosodiningrat, hingga Eggi Sudjana.
Berharap agar tambang tak memecah PBNU Mahfud bicara mengenai persatuan umat Islam yang menggugat UU Migas dalam konteks perpecahan di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) beberapa hari ini.
Dia mengatakan, sebagai NU Kultural yang tak lagi tergabung dalam struktur organisasi tetap merasa peduli dengan wajah teras NU tersebut.
Diketahui, belakangan beredar surat risalah rapat harian pengurus Rais Syuriyah PBNU yang meminta agar Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya mundur dari jabatannya.
Alasan yang tertera dalam surat itu memang jelas, berkaitan dengan pelaksanaan Akademi Kepemimpinan Nasional (AKN) NU dan kehadiran pemateri yang terafiliasi zionisme Israel.
Putra pendiri NU asal Jombang, K.H. Abdul Wahab Chasbullah yakni K. H. Mohammad Hasib Wahab Chasbullah menyesalkan adanya risalah pemberhentian ketum PBNU.
Namun sumber Kompas.com menyebut, alasan itu hanyalah permukaan, karena Gus Yahya sebelum menjabat sebagai Ketua PBNU pun sudah dikenal memiliki hubungan dengan petinggi Israel.
Sumber tersebut meyakini, hubungan Gus Yahya dengan petinggi Israel tak ada bedanya dengan Kyai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang mencoba pendekatan berbeda untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
Sebab itu, isu pengunduran diri lebih kuat dipicu oleh isu lain yang diyakini sebagai isu tambang. Mahfud MD juga meyakini demikian. Dia menyebut, isu tambang menjadi pemantik percobaan pelengseran Gus Yahya.
"Apalagi isunya kan soal tambang, ya. Ada juga soal itu. Saya sudah bicara ke dalam, asal muasalnya soal pengelolaan tambang," kata Mahfud dalam acara yang sama.
Mahfud mengatakan, ada dualisme pengelolaan izin tambang yang diberikan pemerintah kepada PBNU sehingga Ketua Umum PBNU Gus Yahya tak lagi sejalan dengan Sekretaris Jenderal PBNU Saifullah Yusuf alias Gus Ipul.
Berharap PBNU selesaikan masalah internal dengan baik Meskipun tak lagi terkait dengan NU Struktural, Mahfud berharap wajah depan ormas Islam terbesar di Indonesia ini bisa diselamatkan.
Kompleksitas masalah internal NU ini dinilai bisa berbahaya dan memberikan guncangan besar di kalangan umat Islam. Pada ujungnya, negara akan merasakan gesekan yang terjadi dan akan menjadi kerugian besar.
[Redaktur: Alpredo Gultom]