Pengeluaran PLN itu, 70
persennya menggunakan mata uang asing.
Pengeluaran itu digunakan
untuk membayar Independent Power Producer
(IPP) dengan nilai yang dipatok melalui mata uang dollar AS.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Untuk beli bahan bakar
pembangkit pun menggunakan mata uang dollar AS, sehingga bisa terjadi ada
kerugian kurs.
"Tapi, rugi kurs itu
adalah rugi pencatatan. Memang, ada itu catatan rugi kurs, itu mengenai nilai
tukar," tuturnya.
Singkatnya, kata Fabby,
ketika PLN harus membayar tagihan yang jatuh tempo, dan ketika membayar
utangnya itu, ternyata kursnya lebih tinggi daripada asumsi kurs acuan yang
direncanakan di RKAB.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Inilah yang disebut rugi
kurs.
Menurutnya, itu di luar
kendali PLN, di mana PLN tidak bisa mengendalikan nilai tukar, dan yang bisa
dilakukan PLN adalah mengendalikan risiko nilai tukar melalui beberapa
instrumen, salah satunya hedging.
"Tapi, kerugian nilai
kurs tidak bisa dinafikan. Apalagi mata uang rupiah lemah," ujarnya.