Adanya keterlambatan (delay) pembayaran tersebut memang benar
pada saat itu.
Namun, dalam prosesnya,
pembayaran itu melalui audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) terlebih dahulu.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Lalu, BPK-lah yang menentukan
seberapa besar utang pemerintah itu.
Karena, bukan hanya membayar
biaya kompensasi, tapi juga subsidi listrik. Pemerintah sudah membayar program
subsidi listrik yang dibayarkan secara reguler.
Yang terakhir, adalah PMN
(Penanaman Modal Negara), di mana pemerintah menambah modal pada PLN.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
"Saya kira ya, ada
kerugian dari sisi nilai uang, karena ada perbedaan waktu, dan PLN tidak
langsung mendapatkan penggantian pada saat mereka sudah mengeluarkan. Misalnya,
ada kebijakan mengenai subsidi dan lain-lain, tapi itu tetap dibayarkan. Ada
selisih waktu iya, tapi tetap dibayarkan sesuai dengan audit dari BPK,"
ungkap Fabby.
Fabby menegaskan, langkah
untuk mengurangi hutang yang dimiliki PLN adalah dengan cara secepatnya
dilunasi, seperti tahun lalu.
"Yang kedua juga bisa
melakukan refunding, misalnya PLN
pinjam uang dari pasar uang internasional dengan bunga yang lebih rendah. Lalu,
uang itu kemudian dipakai untuk melunasi hutang," tambahnya.