Sementara itu, Rais Syuriyah PBNU KH Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur) berpendapat bahwa persoalan mengenai fiqih adalah persoalan yang rumit sehingga kerap menimbulkan perbedaan pendapat.
“Kalimat assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh itu adalah doa, doa yang dalam keputusan MUI itu dianggap ibadah, doa itu ibadah tapi fiqihnya sendiri itu ada persoalan yang rumit,” terangnya.
Baca Juga:
Kapolres Rohil Siap Ciptakan Pilkada Damai dan Bangun Sinergitas Bersama MUI
Gus Ghofur mengatakan, terkait persoalan ayat-ayat mutasyabihat (ayat yang maknanya belum jelas) dalam fiqih, sebaiknya semua pihak menahan diri agar tidak saling mengkafirkan dalam menyikapi perbedaan.
"Perbedaan antara MUI dan Kementerian Agama sebaiknya dianggap biasa saja. Karena dalam MUI dan Kementerian Agama itu hidup dalam satu ruang yaitu pemerintah. Kita bisa mencontoh perbedaan Fatwa Al-Azhar dan Arab Saudi dalam hal ini. Al-Azhar lebih longgar dalam memberikan fatwa dibandingkan pemerintah Saudi," pungkas Gus Ghofur.
Adapun Gus Ulil menegaskan bahwa salam lintas agama yang diucapkan saat seseorang berpidato adalah wujud dari upaya memupuk persaudaraan kebangsaan
Baca Juga:
Palu Berzikir: Pemkot Palu Peringati 6 Tahun Gempa, Tsunami, dan Likuefaksi
Gus Ulil menyebut bahwa persaudaraan kebangsaan atau ukhuwah wathaniyah merupakan salah satu dari trilogi ukhuwah (persaudaraan) yang dikemukakan Rais Aam PBNU 1984-1991.
"Salah satu cara untuk memupuk persaudaraan kebangsaan dunia kebijakan yang ditempuh oleh negara adalah mengadakan salam lintas agama,” ungkap Gus Ulil.
Gus Ulil juga menekankan pertimbangan mengenai bentuk negara. Ia mengatakan, jika seseorang sudah menerima bentuk negara maka harus juga menerima konsekuensinya dalam hidup bernegara.