"Jalur yudisial kan terus jalan. Jadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu harus ditempuh dengan dua jalan secara paralel, yaitu melalui yudisial dan melalui non-yudisial," tutur Mahfud.
Memperkuat impunitas
Baca Juga:
Kanwil Kemenkumham Sulteng Tingkatkan Kesadaran dan Cegah Perundungan Siswa Lewat Diseminasi HAM
Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan pembentukan tim ini hanya akan memutihkan pelanggaran masa lalu yang belum diselesaikan negara.
Dengan penyelesaian non-yudisial, menurut Hendardi, pemerintah mengingkari undang-undang tentang pengadilan hak asasi manusia, yang mengamanatkan bahwa penyelesaian pelanggaran yang terjadi sebelum tahun 2000 bisa diadili melalui pengadilan ad hoc.
"Alih-alih merangkai kepingan fakta dan informasi untuk mengakselerasi mekanisme yudisial yang selama ini menjadi perintah UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, Jokowi justru menutup rapat tuntutan publik dan harapan korban akan kebenaran dan keadilan," ujar dia dalam siaran pers.
Baca Juga:
Hotman Paris Tantang Menteri HAM: Cukup Ponsel untuk Layani Rakyat, Bukan Rp 20 Triliun
Koalisi Masyarakat Sipil, aliansi para korban pelanggaran HAM dan aktivis meminta Jokowi membatalkan keputusannya itu.
“Padahal ini hanya cara yang dipilih Pemerintah melayani para pelanggar HAM berat masa lalu agar terhindar dari mekanisme yudisial,” ujar dia.
"Presiden Joko Widodo seharusnya memerintahkan Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dengan melakukan penyidikan secara transparan dan bertanggungjawab terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu,” ujar pernyataan mereka.