Bahkan jika material lebih lemah atau beban lebih berat dari perkiraan, seharusnya bangunan tetap mampu menahan hingga batas tertentu, sehingga runtuhnya gedung secara mendadak mengindikasikan adanya kesalahan serius sejak tahap awal pembangunan.
Selain itu, ia menekankan bahwa lembaga pendidikan dan keagamaan seperti pesantren menanggung beban sosial besar karena ratusan santri tinggal di asrama, masjid, dan ruang belajar dalam satu kawasan.
Baca Juga:
Ziarah Nasional HUT TNI ke-80, Korem 042/Gapu Tabur Bunga di TMP Satria Bakti Jambi
“Artinya, setiap kesalahan teknis bukan hanya soal bangunan roboh, melainkan juga soal nyawa manusia yang dipertaruhkan,” tandasnya.
Sudjatmiko kemudian mengingatkan agar tragedi di Ponpes Al Khoziny dijadikan pelajaran penting bagi ratusan ponpes lain di Indonesia yang sedang atau akan membangun fasilitas baru.
Ia pun menyampaikan sejumlah langkah mitigasi, mulai dari kewajiban melibatkan konsultan teknik sipil dan arsitek berizin sejak awal, penerapan standar mutu bahan sesuai SNI 1726:2019, hingga audit kelayakan bangunan yang bisa dilakukan pemerintah daerah bersama asosiasi profesi.
Baca Juga:
Tuduhan Mencuri Ponsel Berujung Tragis, Santri Dibakar di Ponpes Boyolali
Selain itu, regulasi pembangunan fasilitas pendidikan berbasis komunitas harus lebih tegas, sehingga tidak ada lagi pembangunan tanpa izin mendirikan bangunan, perhitungan struktur, atau pengawasan profesional.
Ponpes juga perlu didampingi agar memahami pentingnya keselamatan konstruksi sebagai tanggung jawab moral dan spiritual.
“Kesadaran itu harus ditanamkan karena keselamatan santri sama pentingnya dengan tujuan pendidikan itu sendiri,” katanya.