Budaya kepatuhan rendah juga berperan besar dalam fenomena ini. Menurut kajian sosiologi, masyarakat yang memiliki tingkat kepatuhan terhadap aturan rendah cenderung mengabaikan risiko yang sebenarnya bisa mengancam jiwa.
Ini terjadi bukan hanya karena lemahnya penegakan hukum, tetapi juga karena adanya persepsi bahwa aturan adalah sesuatu yang bisa dinegosiasikan.
Baca Juga:
Korupsi Proyek Perkeretaapian, Anggota Pokja di Purwokerto Terima Sejumlah Uang
Bagi sebagian besar pengendara, palang pintu kereta dianggap sekadar hambatan teknis yang bisa diatasi, bukan sistem keamanan yang melindungi mereka.
Selain itu, ada juga aspek subkultur yang terbentuk dari kebiasaan sehari-hari. Dalam masyarakat dengan tingkat disiplin yang rendah, tindakan melanggar aturan cenderung dilihat sebagai hal biasa.
Jika lingkungan sosial seseorang cenderung sering melakukan pelanggaran lalu lintas, perilaku itu pun menjadi bagian dari norma baru yang diterima.
Baca Juga:
Dua Warga Serang Tertabrak Kereta Rangkasbitung-Merak Saat Terobos Palang Pintu di Serang
Ketika perilaku ini terjadi berulang kali dan tidak mendapatkan sanksi yang tegas, akan terbentuk budaya 'terobos palang' yang sulit dihentikan.
Tekanan sosial juga menjadi salah satu faktor penting. Dalam situasi ramai dan macet, pengendara sering kali terjebak dalam tekanan sosial untuk ikut-ikutan menerobos.
Ketika satu atau dua kendaraan mulai menerobos palang, yang lain pun cenderung mengikuti. Rasa cemas dan takut tertinggal sering kali membuat pengendara memilih untuk mengambil risiko.