PENGAMPUNAN terhadap pelaku korupsi dengan syarat dan pembatasan tertentu merupakan salah satu opsi yang bisa dipertimbangkan dalam mengatasi korupsi sebagai kejahatan luar biasa.
Wacana yang disampaikan oleh Presiden Prabowo ini memerlukan dukungan luas dari berbagai pihak, termasuk legislatif, praktisi hukum, dan masyarakat sipil, agar dapat diterapkan secara efektif dan adil.
Baca Juga:
Terkait Kasus LNG, Eks Dirut Pertamina Nicke Widyawati Diperiksa KPK
Presiden Prabowo pernah menyampaikan bahwa ia akan mengampuni koruptor, selama mereka bertobat dan mengembalikan uang rakyat, fasilitas, pajak, aset, serta kemudahan yang diperoleh secara melawan hukum.
Pendekatan ini membuka peluang untuk diskusi mengenai perlunya kebijakan luar biasa dalam menangani kejahatan luar biasa seperti tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan khusus yang memiliki dampak sistemik terhadap stabilitas ekonomi dan tata kelola pemerintahan.
Baca Juga:
Pembangunan Gerbang Rumah Dinas Bupati Lampung Timur Rp6,9 Miliar Berbau Korupsi
Dalam hal pemidanaan, tujuan utamanya tidak hanya untuk memenjarakan pelaku, tetapi juga untuk memastikan keadilan bagi negara, masyarakat, dan pemerintah sebagai korban.
Pendekatan ini sejalan dengan prinsip restorative justice, yang berfokus pada pemulihan kerugian akibat kejahatan dan mendorong pelaku untuk bertanggung jawab.
Sebagai alternatif terhadap hukuman penjara, para pelaku korupsi bisa diberikan pembebasan bersyarat dengan sejumlah ketentuan.
Ketentuan pertama adalah pengembalian kerugian negara, di mana pelaku diwajibkan mengembalikan seluruh uang yang diperoleh secara melawan hukum.
Kedua, pembatasan kebebasan, seperti larangan memiliki rekening bank atas nama pribadi, penguasaan aset yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, larangan memegang saham atau jabatan di perusahaan, serta pembatasan perjalanan internasional.
Ketiga, durasi pembatasan ini dapat disesuaikan dengan tingkat keparahan tindak pidana, seperti 5, 10, 15 tahun, atau seumur hidup.
Langkah-langkah tersebut memerlukan peraturan perundang-undangan yang khusus, yaitu Undang-Undang yang mengatur pengampunan dan pembatasan terhadap pelaku korupsi secara terintegrasi.
Selain itu, sistem peradilan yang melibatkan hakim dengan kompetensi lintas bidang juga diperlukan, melibatkan ahli hukum ekonomi, ekonomi, dan praktisi bisnis.
Mekanisme yang dapat dijadikan contoh adalah yang diterapkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang melibatkan proses penyelidikan dan penyidikan hingga pemberian sanksi.
Kerja sama internasional juga sangat penting, terutama dalam hal pengembalian aset yang disembunyikan di luar negeri, yang memerlukan kerjasama antarnegara melalui Mutual Legal Assistance (MLA).
Namun, tantangan utama adalah perbedaan definisi tindak pidana korupsi, yang di Indonesia mengutamakan unsur kerugian negara.
Hal ini menjadi kendala dalam penerapan MLA karena tidak semua negara mitra mengakui "kerugian negara" sebagai elemen utama dalam tindak pidana korupsi.
Selain itu, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan yang lebih terfokus, menangani kejahatan yang terukur seperti penggelapan atau suap, daripada memperluas ruang lingkup kejahatan yang berdampak tidak langsung, seperti dampak polusi atau keputusan bisnis yang merugikan.
Masalah lain yang dihadapi adalah kurangnya perlindungan bagi pelaku bisnis dalam hukum Indonesia, khususnya terkait dengan prinsip Business Judgment Rules (BJR) dan Governance, Risk, and Compliance (GRC), yang dapat memberikan perlindungan bagi mereka yang menjalankan tata kelola yang baik.
Dalam sistem hukum civil law Indonesia, perlindungan ini tidak sekomprehensif dalam sistem hukum common law, sehingga pelaku bisnis yang bertindak sesuai prosedur pun sering kali terjerat hukum.
Pendekatan ini selaras dengan prinsip pemidanaan sebagai ultimum remedium, yakni menjadikan pidana sebagai upaya terakhir.
Tujuannya adalah mengurangi dampak negatif hukuman pidana, seperti overkapasitas di lembaga pemasyarakatan, mempercepat pengembalian kerugian negara, serta menciptakan keseimbangan antara kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.
Korupsi memiliki dampak besar terhadap iklim investasi di Indonesia, dengan indeks persepsi korupsi yang tinggi menjadi hambatan bagi investor asing.
Oleh karena itu, kebijakan yang berbasis transparansi dan keadilan dapat memperbaiki peringkat Ease of Doing Business, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan memastikan kepatuhan hukum tanpa menghambat aktivitas bisnis.
Tindak pidana korupsi, dalam skala global, memerlukan pendekatan yang luar biasa, dengan kebijakan progresif, sistem peradilan yang fleksibel, dan kerja sama internasional.
Salah satu solusi yang bisa dipertimbangkan adalah pengampunan terhadap koruptor dengan syarat dan pembatasan tertentu, untuk menangani korupsi sebagai kejahatan luar biasa.
Wacana yang diajukan oleh Presiden Prabowo membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk legislatif, praktisi hukum, dan masyarakat sipil, guna memastikan pelaksanaannya yang efektif dan adil.
*) Sampe L. Purba, Staf Ahli Menteri ESDM 2019-2023, Alumni Universitas Pertahanan RI
Artikel ini sudah tayang di Hukum Online: www.hukumonline.com/berita/a/extraordinary-policy-untuk-mengatasi-extraordinary-crime-lt67815e1a0cf9f/?page=3