Namun, bagi yang lain, story adalah panggung untuk menampilkan versi terbaik diri mereka.
Potret makanan sempurna, filter wajah yang memukau, hingga video perjalanan dengan latar lagu trending bukan hanya cerita, melainkan strategi. Dunia digital telah mengajarkan kita bahwa menjadi relevan adalah bagian penting dari kehidupan.
Baca Juga:
Kisah Haru Babinsa Simalungun, Ayah Tangguh yang Selalu Gendong 'Anak Surganya'
Ironisnya, semakin banyak story yang dibagikan, semakin sulit membedakan mana realitas dan mana kurasi. Sebagian besar konten disusun agar terlihat menarik, terinspirasi oleh algoritma yang memberi penghargaan pada estetika dan interaksi.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: apakah story benar-benar cara kita terhubung, atau hanya ilusi dari kedekatan yang sebenarnya?
Kebiasaan membuat story juga mencerminkan kebutuhan mendalam akan validasi. Setiap klik pada fitur “Viewers” menjadi tanda bahwa kita diperhatikan.
Baca Juga:
Kisah Fery, Penjual Bakso yang Habiskan Rp 10 Miliar untuk Bangun Jalan Desa
Semakin banyak jumlah penonton, semakin besar rasa puas yang muncul, meski hal itu sifatnya sementara.
Ini menunjukkan bahwa di balik banyaknya story, ada unsur psikologis yang tidak bisa diabaikan: keinginan untuk diterima, diakui, dan dilihat.
Meski demikian, tidak semua story harus dianggap dangkal atau manipulatif.