Oleh BUDIMAN TANUREDJO
Baca Juga:
Soal Hasil Pilpres 2024: PTUN Jakarta Tak Terima Gugatan PDIP, Ini Alasannya
AKHIR pekan lalu, saya mengunjungi Omah Petroek di kawasan Gunung Merapi, Sleman, DI Yogyakarta.
Di sana, baru saja diresmikan Museum Anak Bajang yang digagas Sindhunata SJ.
Baca Juga:
KPU Labura Verifikasi Berkas Calon Bupati dan Wakil Bupati di Rantau Prapat: Pastikan Dokumen Sah
Di kompleks yang asri dan di tengah lahan yang alami dengan rumpun pohon bambu yang rindang, terdapat juga Taman Jakoban dan sumur Jakoban.
Jakob Oetama adalah pendiri harian Kompas.
Sejumlah barang bernilai sejarah dari berdirinya harian Kompas dan Jakob tersimpan di sana.
Kutipan bijak ada di kawasan tersebut.
Kawasan itu didesain masih alami.
Tak ada lampu gemerlap pada malam hari.
Tempat itu kerap jadi tempat srawung seniman, wartawan, dan aktivis sosial di Yogyakarta.
Saat saya mampir, ada aktivis sosial Mohammad Marzuki yang dikenal dengan panggilan Marzuki ”Kill the DJ”.
Sepulang dari Omah Petroek, seorang kepala daerah mengirim pesan melalui WhatsApp dan mengundang saya untuk mengobrol sambil makan siang.
Obrolan kami ngalor-ngidul sampai kemudian ke arah situasi dan perpolitikan nasional.
Ia pun berseloroh, ”Apa artinya bagi rakyat, perdebatan tak kunjung berakhir tentang pemilu Februari 2024 atau Mei 2024.”
Benar juga pertanyaan itu.
Di gedung parlemen di Senayan, penetapan tanggal Pemilu 2024 jadi perdebatan tak kunjung berakhir.
Beberapa kali rapat, pemerintah, Komisi Pemilihan Umum, dan DPR tak kunjung bisa menyepakati jadwal Pemilu 2024.
Rapat pengambilan keputusan berulang kali ditunda karena berbagai sebab.
Pemerintah usul Pemilu 2024 berlangsung 15 Mei 2024, didukung Partai Nasdem, Partai Amanat Nasional, dan Golkar.
Sementara KPU mengusulkan 21 Februari 2024.
Usulan KPU itu didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera.
Pemilu 2024 memang kompleks.
Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif dilaksanakan lebih dahulu.
Hasil Pemilu Legislatif dipakai untuk menentukan pencalonan di Pilkada Serentak yang sudah lebih dulu ditetapkan hari pemungutan suaranya pada 27 November 2024.
Jadi, pelaksanaan Pemilu Legislatif 2024 akan punya konsekuensi pada pencalonan Pilkada Serentak 27 November 2024.
Penetapan hari pemilu akan menentukan tahapan pemilu sebelumnya.
Butuh waktu 25 bulan, menurut KPU, untuk persiapan Pemilu 2024 sekaligus mengantisipasi kemungkinan adanya gugatan Pemilu Legislatif yang terkait dengan pencalonan Pilkada Serentak.
Mungkin tahapan itu bisa dipangkas.
Pada 10 Maret 2024 - 8 April 2024 adalah bulan puasa dan Idul Fitri pada 9-10 April 2024.
Situasi ini tentunya perlu jadi faktor yang dipertimbangkan.
Apakah tak sebaiknya Pemilu Presiden dan Legislatif selesai sebelum bulan puasa sehingga suasana politik bisa kembali teduh?
KPU berkeberatan menetapkan Pemilu 15 Mei 2024 sesuai usul pemerintah karena khawatir persiapan Pilkada Serentak terkendala.
KPU mengusulkan Pilkada Serentak diundur jadi Februari 2025 jika Pemilu digelar 15 Mei 2024.
Usulan KPU itu harus merevisi UU yang sejak awal diusulkan, tetapi ditolak pemerintah.
Pemerintah khawatir Pilpres 21 Februari 2024 membuat waktu tunggu lama antara adanya calon terpilih hingga 20 Oktober 2024 saat Presiden Jokowi mengakhiri masa jabatannya.
Seharusnya, lamanya masa tunggu tak terlalu masalah karena Presiden Jokowi tak bisa maju lagi, sesuai dengan konstitusi.
Perdebatan tanggal pemilu yang tak kunjung rampung bisa menimbulkan beragam spekulasi, termasuk spekulasi liar soal perpanjangan masa jabatan presiden dan DPR.
Padahal, Presiden Jokowi menegaskan tidak menghendaki perpanjangan masa jabatan presiden.
Penundaan penetapan hari pemungutan suara pemilu hingga beberapa kali menunjukkan adanya tarik-menarik kepentingan.
Di tengah tarik-menarik kepentingan itu, selayaknya UUD 1945 dijadikan rujukan.
Pemilu digelar lima tahun sekali.
Dalam teks konstitusi, disebutkan pemilu dilaksanakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Kata kuncinya adalah kemandirian dari KPU.
Dan, dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu juga disebutkan, hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara pemilu ditetapkan dengan keputusan KPU.
Dalam teks konstitusi maknanya jelas, tahapan pemilu dan penetapan tahapan pemilu menjadi domain dari KPU yang mandiri.
Masukan dan perdebatan boleh saja, tetapi keputusan ada di tangan KPU.
Tentunya KPU harus mempertimbangkan semua masukan dan segera mengambil keputusan.
Perdebatan soal tanggal pemilu tidak boleh berlarut-larut, lalu memunculkan kecurigaan politik.
Hal yang juga perlu menjadi catatan adalah seleksi anggota KPU dan Bawaslu 2022-2027.
UU Pemilu menyebutkan, enam bulan sebelum masa tugas KPU berakhir, pemerintah harus membentuk tim seleksi.
Masa jabatan anggota KPU berakhir 11 April 2022.
Artinya, 11 Oktober 2021, tim seleksi harus sudah terbentuk.
KPU baru yang nantinya yang akan melaksanakan tahapan Pemilu 2024.
Kalender konstitusional harus ditaati agar bangsa ini tak terjebak pada situasi rumit.
Tahun 2022, 2023, dan 2024 adalah masa-masa tidak normal.
Hampir separuh dari republik, 271 wilayah, akan diisi oleh penjabat yang menggantikan gubernur atau wali kota/bupati yang habis masa jabatannya.
Mereka ialah penjabat tanpa mandat demokrasi dari rakyat karena ditunjuk pemerintah pusat.
Situasi itu memunculkan spekulasi munculnya kembali TNI dan Polri menjabat kepala daerah sebagai penjabat.
Situasi itu mengingatkan kembali pada masa-masa Orde Baru.
Sebab, eselon satu (pimpinan tinggi madya) di Kementerian Dalam Negeri atau kementerian lain mungkin tak mencukupi untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur di daerah dalam waktu lama.
Adapun penjabat bupati/wali kota diisi pimpinan tinggi pratama (eselon dua).
Situasi ke depan, perlu dikelola baik.
Terasa berbagai manuver yang terjadi bermuara pada kontestasi Pemilu 2024.
Untuk menghindari hal itu, berbagai ketidakpastian harus diubah menjadi kepastian agar bangsa ini bergerak maju.
Agar kalender konstitusional tetap berjalan.
Agar sirkulasi kekuasaan demokratis tetap berjalan sesuai aturan.
Mengakhiri makan siang dengan kepala daerah, saya teringat kembali nasihat almarhum Pak Jakob, ”Hati-hati nek mrucut.”
Terlalu banyak kepentingan yang bermain bisa saja membuat situasi terang tak terlalu benderang.
Situasi ke depan harus bisa diprediksi oleh pemerintah.
Gouverner c’est prevoir, frasa bahasa Perancis yang sering diulang Pak Jakob di ruang redaksi.
”Memerintah itu melihat lebih dahulu,” dan kemudian mengantisipasinya agar tidak kedodoran, termasuk Pemilu 2024. (Budiman Tanuredjo, Wartawan Senior)-dhn
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Februari 2024 atau Mei 2024”. Klik untuk baca: Februari 2024 atau Mei 2024 - Kompas.id.