INDONESIA merupakan negara yang dikaruniai berbagai sumber daya alam seperti emas, bauksit, minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah menarik perhatian para pelaku usaha yang bergerak di bidang pertambangan.
Tak heran jika Indonesia memiliki begitu banyak lokasi pertambangan dan sumber daya alam yang ditambang di Indonesia. Kekayaan yang dimiliki Indonesia juga menyebabkan maraknya penambangan tanpa izin.
Baca Juga:
Banjir Lumpur Serang Konawe Selatan, Warga Sentil Aktivitas Tambang PT GMS
Salah satu fenomena penambangan liar di Indonesia, yakni di Kalimantan Timur, yang melibatkan mantan perwira Polri, Ismail Bolong, dipandang hanya sebagai puncak gunung es.
Hingga saat ini, penambangan liar di Kaltim masih menjadi kejadian berulang yang melibatkan pihak kepolisian. Namun, tidak pernah ada respon terhadap praktik polisi yang melakukan penambangan liar.
Sebelum itu harus dibedakan kegiatan Penambangan Tanpa Izin (PETI) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Baca Juga:
Lowongan Kerja di Freeport Indonesia, Ini Syaratnya
Penambangan tanpa izin atau yang biasa disebut dengan penambangan liar adalah kegiatan penambangan mineral atau batubara yang dilakukan oleh masyarakat atau pelaku usaha yang belum mendapat izin dari instansi pemerintah dan tidak menggunakan prinsip penambangan yang baik dan benar.
Sedangkan IPR adalah kegiatan pertambangan yang berizin/legal yang dilakukan oleh masyarakat di dalam Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dengan fasilitas atau peralatan yang sederhana berdasarkan Undang-Undang Minerba No. 3 Tahun 2020.
Masalah penambangan liar di Indonesia sudah lama menjadi persoalan yang sulit untuk diberantas dan juga telah menjadi masalah bersama karena keberadaan pertambangan tanpa izin yang sudah menjamur.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) telah menemukan 2.741 lokasi penambangan tanpa izin (PETI) di Indonesia.
Dari jumlah tersebut, penambangan batubara ilegal tersebar di 96 lokasi dan 2.645 lokasi penambangan ilegal untuk komoditas mineral berdasarkan data tahun 2021. Salah satu lokasi penambangan ilegal terbanyak terletak di Sumatra Selatan.
Dari sisi regulasi, penambangan tanpa izin (PETI) melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 158 undang-undang mengatur bahwa mereka yang terlibat dalam pertambangan tanpa izin dapat diancam dengan hukuman penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00. Ini termasuk siapa saja yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) tahap eksplorasi tetapi sedang melakukan pekerjaan produksi dan dapat dipenjara berdasarkan Pasal 160.
Penambangan ilegal umumnya dioperasikan oleh masyarakat, menggunakan peralatan sederhana, tidak berlisensi, tidak melibatkan lingkungan dan perusahaan. Tentu saja hal ini dapat mengancam dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Kegiatan ini juga memicu munculnya konflik lateral dalam masyarakat.
Sementara itu, Rana Saria, Direktur Teknik, Lingkungan, Mineral, dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM), mengatakan PETI menimbulkan sedikitnya enam dampak negatif.
Pertama, menghambat kegiatan usaha pemegang izin resmi. Kedua, menimbulkan bahaya keamanan dan bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Yang ketiga adalah potensi kerusakan lingkungan, yakni munculnya potensi ancaman seperti banjir, longsor dan berkurangnya kesuburan tanah. Keempat, dapat merugikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan penerimaan pajak daerah. Kelima, dapat menimbulkan masalah sosial dan gangguan keamanan. Dan terakhir, terjadi deforestasi jika di kawasan hutan.
Selain itu, penambangan liar juga memberikan beberapa dampak positif bagi masyarakat antara lain adanya lapangan kerja atau peluang usaha bagi warga sekitar, menambah pendapatan ekonomi, menunjang pembangunan fisik seperti penggunaan material batu dan pasir (keran), dan Retribusi. Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Lalu mengapa pertambangan ilegal masih terus berlangsung di Indonesia?
Yang pertama karena adanya persepsi bahwa masyarakat yang menambang adalah rakyat yang mencari penghidupan yang harus dilindungi, sehingga berhadapan dengan masyarakat bagi pemerintah adalah isu yang tidak menguntungkan, yang kedua pemerintah daerah gagal menyediakan kesempatan kerja alternative, yang ketiga komunitas pertambangan merupakan aset politik yang potensial untuk mendukung tujuan politik tertentu, terutama dalam pilkada, lalu keempat kurang harmonisnya hubungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat terkait perizinan pertambangan, yang kelima merupakan ranah yang sangat menguntungkan bagi oknum-oknum aparat dan pejabat untuk mendapatkan penghasilan besar dalam waktu singkat, lalu regulasi yang mengatur tentang kegiatan masyarakat yang menambang juga belum implementable, lalu juga komoditas tambang yang mudah ditambang, mudah diolah, mudah dijual, serta pasarnya terbuka sekali, yang terakhir karena memberikan manfaat yang diakui oleh masyarakat dan menganggap bahwa masyarakat berhak mendapatkan manfaat dari sumber daya alam daerah tersebut.
Berbagai langkah dan peraturan telah dibuat selama beberapa dekade, namun belum dilaksanakan dengan baik. Presiden dan polisi seharusnya turun tangan atas masalah penambangan liar ini.
Khususnya kasus di Kalimantan Timur dimana aparat terlibat dalam penambangan liar yang didukung dan diorganisir operasinya. Masifnya penambangan liar di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa negara tidak memiliki kendali atau kontrol terhadap sumber daya alam di Indonesia.
Pemerintah juga tidak bisa tinggal diam. Pemerintah harus turun tangan dan berani memberantas penambangan liar, serta pemerintah harus mengeluarkan aturan yang jelas dan sanksi yang tegas. Jadi, masalah penambangan liar jangan sampai sebatas kasus Ismail Bolong saja, tapi harus menjadi titik awal untuk mengungkap kasus-kasus lain.
Oleh karena itu diperlukan bukan hanya solusi tetapi tindakan melalui upaya nasional untuk menghilangkan dan memusnahkan PETI.
Berikut adalah beberapa solusi untuk mengatasi maraknya PETI, antara lain pertama konsep pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan diikuti dengan penegakan hukum yang tegas, konsisten, dan tidak diskriminatif, lalu kedua memberikan IUP kepada BUMD sebagai perancang pertambangan, ketiga memberikan IUP kepada perusahaan dengan persetujuan untuk memberikan sebagian dari kegiatan pertambangan kepada masyarakat, keempat perlu dibentuknya satuan tugas khusus untuk pemberantasan PETI yang bertanggung jawab langsung ke Presiden/Wapres, dan yang terakhir dibutuhkannya upaya yang harus dilakukan untuk mencegah aktivitas peti melalui keterlibatan pemangku kepentingan dengan mendidik masyarakat tentang efek negatif dari aktivitas PETI.
Selain solusi di atas, kami mendorong kaum milenial untuk menjadi motor penggerak pemberantasan PETI, mulai dari mahasiswa hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). [rds]