Jika teosentrisme memusatkan segala kejadian di muka bumi pada kehendak Tuhan, maka antroposentrisme membalikkannya pada kekuasaan penuh manusia.
Paham yang pertama terwujud dalam pandangan bahwa segala kejadian di muka bumi adalah murni kehendak-Nya, sedangkan paham yang kedua terwujud dalam pandangan bahwa manusia bebas bertindak apa saja, semaunya.
Baca Juga:
BMKG: Hujan Petir Mengancam, Sebagian Besar Indonesia Siap-siap Basah!
Dalam konteks kebencanaan, dua-duanya sama-sama membahayakan.
Seperti yang terjadi pada sebagian masyarakat kita, teosentrisme menggiring pada keyakinan bahwa banjir murni kehendak-Nya melalui perantara hujan.
Konsekuensinya, seolah tidak ada beban ”salah” pada diri manusia karena sudah terlimpahkan pada kehendak-Nya.
Baca Juga:
Benarkah Hujan Dapat Pengaruhi Perasaan Seseorang? Begini Penjelasan Psikolog
Sebaliknya, antroposentrisme membuat manusia merasa bebas mengeksploitasi aset-aset alam tanpa batas sehingga mereka abai terhadap tanggung jawab sosialnya untuk merawat alam dengan baik.
Kedua sikap tersebut sama-sama berlebihan dalam memosisikan wilayah ketuhanan dan kemanusiaan.
Baik teosentrisme maupun antroposentrisme, tidak relevan bagi upaya penanggulangan bencana.