Teologi bencana dalam konteks Islam meyakini bahwa bencana-bencana alam merupakan ”desain” Tuhan di Lauhul Mahfuz (QS. 57: 22).
Namun, tidak berarti manusia lantas boleh ”mengambinghitamkan” Tuhan karena segala sifat-Nya pada prinsipnya adalah baik, sementara aktualisasi terjadinya bencana (banjir) yang dalam konteks teguran atau siksaan lebih disebabkan ulah tangan manusia yang kufur, abai terhadap tanggung jawab sosial dan hukum-hukum alam (supremasi sanis) atau sunnatullah (QS. 42: 30).
Baca Juga:
BMKG: Hujan Petir Mengancam, Sebagian Besar Indonesia Siap-siap Basah!
Selama beberapa bulan terakhir ini Bumi Pertiwi tidak henti-hentinya dirundung banjir bandang.
Ruang-ruang hidup rakyat tergadaikan.
Ratusan bahkan ribuan korban jiwa berjatuhan.
Baca Juga:
Benarkah Hujan Dapat Pengaruhi Perasaan Seseorang? Begini Penjelasan Psikolog
Rupa-rupanya di tengah suasana duka ini, kita, khususnya para pemimpin negeri perlu mengevaluasi kembali pikiran, tindakan, dan kebijakannya tanpa harus ”mengambinghitamkan” Tuhan di balik bencana alam.
Kemajuan sains, teknologi informasi, dan pembangunan ekonomi merupakan kebutuhan manusia modern yang membutuhkan sikap teologis yang tepat.
Agar penyelenggaraannya tidak justru mendatangkan dua kesalahan fatal sekaligus; mendistorsi bangunan teologi dan menambah deret hitung bencana-bencana alam di Tanah Air. (Moh Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)-qnt