TEKNOLOGI digital telah mengubah cara hidup kita karena hampir semua aktivitas kini dapat dilakukan secara daring. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas, terutama pada aktivitas jual beli barang. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah konsumen dan nilai transaksi e-commerce.
Pada tahun 2020 misalnya, hanya terdapat 17 juta konsumen e-commerce di Indonesia dengan nilai transaksi Rp 266 triliun. Kemudian pada tahun 2021, jumlah konsumen naik menjadi 32 juta dengan nilai transaksi yang meningkat menjadi Rp 401 triliun.
Baca Juga:
Istilah Hilirisasi Digital Gibran Picu Kebingunan Pengamat
Angka-angka tersebut diproyeksikan akan terus tumbuh di tahun-tahun mendatang, seiring dengan meningkatnya pengguna smartphone, peningkatan literasi digital, serta pandemi Covid-19 yang masih berlangsung.
Sayangnya, peningkatan nilai transaksi dan jumlah konsumen e-commerce di Indonesia juga diikuti dengan meningkatnya jumlah sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Sengketa tersebut mencakup antara lain permasalahan transaksi gagal dan klaim atas penipuan.
Kementerian Perdagangan telah menerima 9.393 pengaduan yang diajukan oleh konsumen e-commerce sepanjang tahun 2021. Jumlah tersebut 10 kali lebih tinggi dari jumlah pengaduan pada tahun 2020. Dengan tingginya potensi sengketa yang ditimbulkan dari transaksi elektronik, konsumen Indonesia membutuhkan mekanisme penyelesaian sengketa yang mudah, cepat dan terjangkau.
Baca Juga:
Menko Airlangga: Generasi Muda Harus Mampu Merespons Pesatnya Pertumbuhan Teknologi-Digital
Sayangnya, mekanisme penyelesaian sengketa yang saat ini diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) tampaknya belum dapat memberikan perlindungan konsumen yang optimal di era digital. Sebab, UU tersebut belum mengakomodasi ketentuan yang secara khusus menangani sengketa transaksi elektronik.
Tantangan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Saat Ini