Legitimasi prosedural pun menjadi perdebatan. Saya mendengar ada tokoh sekaligus ekonom yang menilai bahwa penempatan dana di bank umum tanpa persetujuan DPR berpotensi melanggar prinsip demokrasi fiskal dan ketentuan APBN.
Namun di sisi lain, ada banyak aspek “sedap” yang membuat kebijakan ini dinilai strategis. Likuiditas perbankan semakin kuat, ruang penyaluran kredit produktif terbuka lebih lebar, dan suku bunga kredit maupun deposito berpotensi turun, sehingga daya beli masyarakat dan investasi bisa terdorong.
Baca Juga:
Satgas Percepat Operasional Koperasi Desa, Fokus pada Bisnis Potensial dan Infrastruktur
Kredit ke sektor riil, termasuk UMKM dan infrastruktur, bisa dipercepat untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi. Basis penerimaan pajak negara juga dapat meluas seiring aktivitas ekonomi yang meningkat.
Penempatan dana ini tidak dianggap mengganggu kas negara karena menggunakan saldo anggaran lebih (SAL) dan sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) yang selama ini mengendap di Bank Indonesia.
Dengan memindahkannya ke bank Himbara, dana tersebut dipaksa berputar dalam perekonomian.
Baca Juga:
Misteri Pengunduran Diri Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto
Pemerintah menyebut kebijakan ini sebagai bagian dari treasury management. Penempatan dilakukan dalam bentuk deposito on-call dengan tenor enam bulan, dengan imbal hasil sekitar 4 persen, serta larangan eksplisit agar dana tidak digunakan untuk membeli SBN atau instrumen spekulatif.
Bank-bank mitra diwajibkan melaporkan pemanfaatan dana setiap bulan kepada Kementerian Keuangan, khususnya Dirjen Perbendaharaan, sebagai bagian dari mekanisme monitoring. Dengan pengawasan yang ketat, kebijakan ini bisa menjadi instrumen fiskal aktif untuk mengatasi perlambatan ekonomi tanpa membebani anggaran negara.
Dari perspektif geopolitik fiskal, penting untuk dicatat bahwa jika placement of funds dibiarkan tanpa kontrol ketat, bisa melemahkan peran DPR dalam fungsi anggaran.