WAHANANEWS.CO, Surabaya - Indonesia sering disebut sedang berada di puncak bonus demografi, di mana proporsi penduduk usia produktif jauh lebih besar dibandingkan kelompok usia nonproduktif. Secara teoritis, kondisi ini bisa menjadi momentum emas untuk melesatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan nasional. Namun realitas di lapangan menunjukkan paradoks: meningkatnya angka pengangguran di kalangan muda.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka untuk kelompok usia 15-24 tahun masih mendominasi struktur pengangguran nasional. Artinya, di tengah peluang demografis, justru muncul tantangan serius pada aspek kualitas sumber daya manusia (SDM) muda.
Baca Juga:
Kemenhub Genjot SDM Transportasi Air Lewat Pelatihan Pemeriksaan SPM
Fenomena ini menggambarkan adanya jurang yang semakin lebar antara kompetensi yang dimiliki lulusan pendidikan dengan kebutuhan nyata dunia kerja. Persoalan tersebut dikenal dengan istilah skills mismatch. Bila tidak segera diatasi, bonus demografi yang diharapkan menjadi berkah justru dapat berubah menjadi beban sosial ekonomi dalam jangka panjang.
Masalah utama pengangguran muda bukan semata ketiadaan lapangan kerja, melainkan ketidaksiapan tenaga kerja dalam memenuhi kebutuhan industri modern. Banyak perusahaan mengaku kesulitan mencari tenaga muda yang benar-benar siap kerja (job ready).
Kondisi inilah yang menjelaskan mengapa banyak anak muda yang berpendidikan tetapi tetap sulit memperoleh pekerjaan yang layak. Kesenjangan kompetensi tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga menimbulkan efek berantai terhadap pembangunan nasional dan daerah.
Baca Juga:
DPR Tunggu Nama Calon Dubes, Puan Ingatkan Pentingnya Pemahaman Global
Kualitas sumber daya manusia seharusnya menjadi kunci daya saing bangsa. Namun banyak lulusan muda akhirnya bekerja di sektor informal atau menganggur bukan karena kurang semangat, melainkan karena kompetensinya tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
Untuk mengatasi kesenjangan kompetensi, dibutuhkan sinergi nyata antara tiga aktor utama: dunia pendidikan, dunia usaha dan industri (DUDI), serta pemerintah. Kurikulum pendidikan harus dirancang lebih adaptif terhadap kebutuhan pasar. Sekolah dan perguruan tinggi perlu menerapkan sistem project-based learning, magang wajib, dan kolaborasi riset dengan industri.
Dunia usaha tidak hanya berperan sebagai pengguna tenaga kerja, tetapi juga sebagai mitra dalam membentuk kompetensi. Program co-education, pelatihan bersama, dan sertifikasi kompetensi industri perlu diperluas. Pemerintah pusat dan daerah harus menyediakan ekosistem yang mendukung mulai dari peta kebutuhan tenaga kerja (labor market mapping), insentif bagi perusahaan yang melatih tenaga muda, hingga penguatan lembaga pelatihan kerja daerah.