Misalnya dalam perkara Nomor 697 K/Pid/2013, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai berikut:
… Terdakwa melakukan pencurian tetapi perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena Terdakwa mengalami “Retardasi Mental.” Oleh karena itu, sesuai Pasal 44 ayat (1) dan (2) KUHPidana Terdakwa yang cacat jiwanya tidak dapat mempertanggungjawabkan kesalahannya dan harus dilepaskan dari tuntutan hukum serta dimasukkan ke rumah sakit khusus penanganan mental atau kejiwaan terdekat untuk menjalani evaluasi dan/atau terapi kondisi mental dan kejiwaannya;
Baca Juga:
Penyaluran Bantuan Kursi Roda dari Dinsos Sumut Kepada bapak Khairul anwar saragih
Mahkamah Agung kemudian menjatuhkan putusan kepada Terdakwa dengan amar: Memerintahkan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk memasukkan Terdakwa ke rumah sakit khusus penanganan mental atau kejiwaan terdekat guna menjalani evaluasi dan atau terapi kondisi mental atau kejiwaannya dalam jangka waktu selama 6 (enam) bulan;
Hal senada juga ditemukan dalam pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan nomor 399 K/Pid.Sus/2019 yang menyatakan bahwa:
- Bahwa namun demikian putusan judex facti menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana memerintahkan Penuntut Umum agar Terdakwa dirawat di Rumah Sakit Jiwa selama 1 (satu) tahun, tidak tepat karena berdasarkan fakta hukum yang relevan secara yuridis yang terungkap di muka sidang ternyata Terdakwa adalah penderita Retardasi Mental Berat sesuai Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa Prof. DR. Muhammad Ildre Nomor YM.01.06.5.907 tanggal 3 Mei 2018. Maka dengan demikian Terdakwa tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Oleh karena itu Terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum, dan putusan judex facti beralasan hukum diperbaiki sebagaimana tersebut dalam amar putusan dibawah ini;
Baca Juga:
SEA Deaf Games 2025 Hadirkan Semangat Sportivitas Tuna Rungu di Jakarta
Kemudian dalam perkara Nomor 2257 K/PID/2011, Mahkamah Agung menguatkan putusan judex factie terhadap salah satu Terdakwa yang amarnya membebaskan Terdakwa karena Terdakwa tersebut tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena Terdakwa menderita Retardasi Mental Berat.
Namun demikian, tidak selamanya klaim atas kondisi disabilitas Terdakwa membuat Terdakwa bebas/lepas atau dihukum untuk masuk ke rumah sakit jiwa. Mahkamah Agung melihat kondisi disabilitas Terdakwa dalam spektrum yang lebih luas dalam perkara 2470 K/Pid.Sus/2018. Mahkamah Agung tetap menghukum Terdakwa dengan kondisi disabilitas mental karena sebelumnya Terdakwa pernah dihukum. Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai berikut: