Pernyataan ini bisa dipahami secara teoritis, namun berisiko dianggap simplistik. Pertumbuhan ekonomi tidak otomatis meredakan keresahan sosial jika tidak dibarengi pemerataan manfaat. Bahkan, sejarah menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi tanpa keadilan sosial justru memicu ketimpangan dan gejolak baru.
Pertumbuhan 5–8 persen memang memiliki arti strategis. Pada level 5 persen, ekonomi Indonesia menunjukkan daya tahannya, ditopang konsumsi domestik dan stabilitas fiskal, meski distribusi manfaat belum merata. Naiknya ke 6 persen mencerminkan peningkatan investasi produktif, penguatan hilirisasi, dan penciptaan lapangan kerja formal.
Baca Juga:
Antara Kemarahan Presiden Prabowo dan Kehati-hatian Gubernur Pramono terhadap BUMD PT FSTJ
Target 7 hingga 8 persen bersifat ambisius, dengan tujuan keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap). Namun, untuk mencapainya, diperlukan reformasi struktural yang konsisten: revitalisasi industri manufaktur, penguatan riset, peningkatan kualitas SDM, hingga penataan ulang APBN agar tetap dalam koridor disiplin fiskal.
Proyeksi pertumbuhan global dan nasional menunjukkan bahwa target 7-8 persen bukan hal mudah. IMF pada Juli 2025 memperkirakan pertumbuhan Indonesia sekitar 4,8 persen, sementara Bank Dunia menempatkan proyeksi 2025–2027 di kisaran 4,7–5,5 persen.
Sedangkan pemerintah sendiri lebih optimis dengan target 5,2–5,8 persen, didorong hilirisasi SDA dan investasi. Realitasnya, sejak satu dekade terakhir pertumbuhan Indonesia cenderung stabil di sekitar 5 persen. Artinya, lompatan menuju 6–8 persen tidak bisa dicapai hanya dengan melanjutkan kebijakan saat ini, melainkan membutuhkan reformasi fundamental.
Baca Juga:
Harap Rasional Bung, RPJMD DKI Jakarta Sedang Disusun!
Landasan hukumnya juga jelas. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara membatasi defisit APBN maksimal 3 persen PDB dan utang maksimal 60 persen PDB. Maka, target pertumbuhan tinggi harus dicapai tanpa mengorbankan disiplin fiskal. Reformasi pajak mutlak diperlukan mengingat tax ratio Indonesia masih rendah, sekitar 10,03 persen PDB. Tanpa peningkatan penerimaan negara, ruang fiskal untuk pembiayaan pembangunan akan sempit.
Selain itu, UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) menuntut pendalaman sektor keuangan untuk menurunkan biaya modal, sementara UU Perindustrian 2014 mengamanatkan industrialisasi berorientasi ekspor. Peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan kebijakan ketenagakerjaan juga wajib ditempuh sesuai amanat UU Sisdiknas 2003 dan UU Ketenagakerjaan 2003.
Selain itu, infrastruktur harus dikelola secara efisien, mengingat Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia masih tinggi, yakni sekitar 6,47. Transisi energi, sesuai Perpres Nomor 112 Tahun 2022, harus dijalankan secara kredibel agar dapat menarik investasi hijau. Sektor ekspor juga perlu diperkuat sesuai UU Perdagangan Tahun 2014, melalui perjanjian dagang strategis dan penyederhanaan prosedur kepabeanan.