Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST., SH., MH.
Untuk dapat memutuskan apakah kasus Korupsi Kepala Basarnas akan dilaksanakan di Pengadilan Umum atau Pengadilan militer, maka perlu diperhatikan beberapa aturan perundangan yang berlaku di Indonesia.
Baca Juga:
Puluhan Ribu Massa Pendukung Tumpah Ruah, Abdul Faris Umlati dan Petrus Kasihiw Kampanye Akbar di Alun-Alun Aimas
1. Pasal 24 UUD 45 tentang Kekuasaan Kehakiman
Ayat 2 pasal 24 UUD 45 selengkapnya berbunyi:
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Baca Juga:
Connie Minta Maaf Usai Tuding Polisi Bisa Akses Sirekap
Mengalir dari ayat 2 dapat di disimpulkan bahwa "pembagian lingkungan peradilan" didasarkan atas "status sosial masyarakat". Masyarakat yang status status sosialnya militer berada pada lingkungan peradilan Militer, masyarakat yang status sosialnya bukan militer berada pada lingkungan peradilan umum, masyarakat yang status sosialnya pejabat publik (Menteri, Presiden, Bupati) berada pada lingkungan peradilan tata usaha negara dan masyarakat yang status sosialnya sebagai pemeluk agama berada pada lingkungan peradilan agama.
2. Posisi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Pasal 54 UU 30/2002 ttg KPK berbunyi:
(1) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum
Jadi, walaupun Tindak Pidana Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crimes) yang merugikan negara, tetapi Pengadilan TIPIKOR posisinya tetap hanya berada dilingkungan peradilan Umum saja.
Sebagai konsekuensinya maka Pengadilan Tipikor tidak bisa mengadili personil militer yang tunduk pada peradilan militer.
3. Pasal 42 UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi mengatur bahwa
"KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum."
Sangat jelas bahwa pasal ini mengatur kewenangan KPK yaitu sebagai koordinator. Sehingga dalam setiap kasus Korupsi yang perbuatannya diduga dilakukan oleh personil TNI bersama-sama dengan personil non TNI, maka KPK harus melakukan koordinasi dalam rangka penyelidikan, koordinasi untuk penyidikan, OTT, Pemberkasan, koordinasi utk gelar perkara sampai kepada pengumuman tersangka, tidak boleh dilakukan sendiri. Tapi selalu berkoordinasi.
4. Penentuan lingkungan Peradilan yang mengadili tersangka Tindak Pidana Korupsi
Penentuan pengadilan yang akan mengadili tersangka tindak Pidana Korupsi diatur pada beberapa pasal pada UU 8/1981 tentang KUHAP.
Pasal 89 ayat 1 KUHAP mengatur bahwa apabila tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, dapat diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Selengkapnya Pasal 89 ayat 1 KUHAP berbunyi:
Pasal 89
(1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Jadi menurut pasal 89 ayat (1) KUHAP bahwa bila Tindak pidana Korupsi dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk dilingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, dapat diadili oleh pengadilan dalam lingkungan militer atas keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman.
Mengalir dari bunyi pasal 89 KUHAP maka pada kasus penangkapan Kepala Basarnas yang merupakan perwira TNI aktif, penetuan pengadilan yang akan mengadilinya adalah kewenangan Menhan atas Persetujuan Menteri Kehakiman.
Akan tetapi mengingat Jabatan Menteri pertahanan dan Keamanan serta Menteri Kehakiman sudah bertransformasi menjadi Menteri Pertahanan dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka penerapan pasal ini mesih bisa diperdebatkan.
Namun masih ada aturan lain yang dapat digunakan yaitu pasal 16 UU 48/2009 tetang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur bahwa Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk dilingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, dapat diperiksa dan oleh pengadilan dalam lingkungan militer atas keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Selengkapnya pasal 16 UU 48/2009 ttg Kekuasaan Kehakiman berbunyi:
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Selain itu, pasal 91 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP juga mengatur bahwa penentuan lingkungan peradilan yang akan mengadili kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama sama oleh mereka yang termasuk dilingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer ditentukan berdasarkan kerugian yang ditimbulkan.
Bila kepentingan umum yang banyak dirugikan maka perkara diserahkan kepada pengadilan Umumsedangkan bila kepentingan militer yang banya dirugikan maka penyelesaian perkara dierahkan kepada Pengadilan Militer.
Selengkapnya pasal 91 ayat (1 dan ayat (2) KUHAP berbunyi:
Pasal 91 KUHAP:
(1) Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 (3) titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka perwira penyerah perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkarayang diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada penuntut umum, untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang.
Dasar pemikiran pemilihan lingkungan peradilan pada pasal 91 KUHAP yang didasarkan pada akibat dari perbuatan tindak pidana korupsi yaitu untung-rugi ini bertentangan dengan dasar pemilihan lingkungan peradilan pada pasal 24 UUD 45 yang didasarkan pada "status sosial masyarakat".
Oleh karena itu pasal 91 KUHAP ini dapat diabaikan, sehingga penentuan lingkungan peradilan yang akan mengadili perkara tindak pidana korusi itu dapat menggunakan pasal 89 KUHAP.
Dapat disarankan kepada Menhan dan Menteri Kehakiman untuk memilih Pengadilan Militer di lingkup peradilan Militer yang melaksanakan persidangan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama oleh mereka yang termasuk
lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer.
Adapun alasan mengapa Pengadilan Militer yang dipilih adalah sebagai berikut:
1. Walaupun pelaksana proses pengadilan adalah Pengadilan Militer, tapi pada dasarnya itu Pengadilan Koneksitas yang dilakukan pada Pengadilan Militer dimana hakim, jaksa, penyidik, adalah gabungan dari perangkat pengadilan militer dan perangkat pengadilan Tipikor.
2. Pada Pengadilan Militer, hukuman yang dijatuhkan pada para pelaku tindak pidana korupsi bisa maksimal. Misalnya bagi tersangka yang berstatus Militer dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa dipecat dari dinas aktif kemiliteran. Sedangkan bagi tersangka yang berstatus non militer, dapat dijatuhi hukuman sesau dengan KUHP.
5. Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pejabat yang dapat menentukan lingkup peradilan yang akan mengadili perkara tindak pidana korupsi mereka yang termasuk dilingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer diperiksa dan diadili di Pengadilan Militer adalah Mahkamah Agung. Bukan Menkopolhukam.
Agar hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana korupsi dapat maksimal, maka disarankan kepada Ketua Makamah Agung agar selalu memilih dan memutuskan Pengadilan dilingkungan Peradilan Militer sebagai Pengadilan Koneksitas untuk mengadili tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh mereka yang termasuk dilingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer. [Alpredo]
[Laksda TNI (PURN) Soleman B. Ponto, ST., SH., MH, adalah mantan Ka BAIS TNI, Pengamat Militer dan Intelijen]