Pada masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno memberi ruang luas bagi militer dalam politik. Era Orde Baru kemudian menginstitusionalisasikan peran tersebut melalui doktrin Dwifungsi ABRI, yang menjadi wajah otoritarianisme rezim Soeharto. Reformasi 1998 berhasil menghapus dwifungsi dan menegaskan peran militer terbatas pada bidang pertahanan dengan supremasi sipil sebagai prinsip utama.
Pasca-reformasi, kepemimpinan nasional bergantian diisi tokoh sipil maupun militer. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Joko Widodo berasal dari sipil, sementara Susilo Bambang Yudhoyono dan kini Prabowo Subianto berasal dari militer.
Baca Juga:
TNI Minta Maaf, Driver Ojol Dipukul Prajurit hingga Hidung Patah di Pontianak
Konstitusi tidak membedakan latar belakang sipil atau militer dalam kepemimpinan nasional. Artinya, yang lebih penting bukan asal-usulnya, melainkan bagaimana kekuasaan dijalankan.
Persoalan utama yang menjadi momok bagi rakyat adalah lahirnya gaya kepemimpinan otoriter. Otoritarianisme tidak identik dengan latar belakang militer, karena pemimpin sipil pun berpotensi menjalankan pemerintahan dengan corak militeristik.
Kekuasaan yang begitu besar selalu rawan disalahgunakan. Dengan begitu, ancaman otoritarianisme bisa datang dari siapa pun yang berada di tampuk kekuasaan.
Baca Juga:
Reformasi Polri harus Tunduk pada Mandat Konstitusi, Bukan Jadi Komoditas Politik Kekuasaan
Perbandingan antara Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo memperlihatkan hal ini dengan jelas. SBY yang berlatar belakang militer justru tampil dengan gaya kepemimpinan santun, dialogis, dan akomodatif.
Sebaliknya, Jokowi yang berlatar belakang sipil kerap dinilai menampilkan gaya kepemimpinan yang tegas dan keras, atau mungkin dapat dianggap represif. Karena itu, mungkin saja tidak sedikit yang menilai kepemimpinan Jokowi cenderung memiliki karakter otoriter.
Penilaian tersebut setidaknya boleh jadi tercermin dalam beberapa kebijakan, seperti penanganan demonstrasi mahasiswa tahun 2019 yang menelan korban jiwa. Selain itu, ada juga proses pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, serta pola pembangunan infrastruktur yang boleh jadi dinilai top-down. Bagi sebagian kalangan, hal-hal tersebut mungkin dinilai menyerupai praktik kebijakan yang berwatak otoriter.