Persoalan SDM ini, merupakan fenomena gunung es. Selama ini, kementerian itu sudah punya 3 atau 4 staf ahli menteri, juga punya 5 orang staf khusus yang memposisikan dirinya fasilitasnya selevel eselon 1. Nah, wamen juga biasanya tidak ketinggalan merekrut staf khusus yang harus dibiayai dari anggaran kementerian.
Kehadiran wamen itu terkadang dalam birokrasi kementerian akan menimbulkan dualisme kebijakan–walaupun tidak terbuka. Tapi itu akan dapat memperlemah dinamika kecepatan atau akselerasi implementasi program. Walaupun tidak tertutup kemungkinan kehadiran wamen itu akan mempermudah, meringankan, bahkan memberikan penguatan atas kebijakan yang telah ditetapkan kementerian.
Baca Juga:
Bertemu PM Slandia Baru, Presiden Prabowo Bahas Perdagangan Hingga Inovasi
Keberadaan wamen masih proporsional untuk kementerian bersifat vertikal sesuai dengan UU Otonomi Daerah. Karena kementerian vertikal punya kantor wilayah di provinsi dan kantor departemen (kandep) kabupaten-kota, sehingga jangkauan pemantauan kerja dapat dibagi antara menteri dan wamen.
Tetapi bagi kementerian yang sudah dimekarkan, dengan cakupan program yang lebih sedikit, dan jumlah pejabat struktural yang lebih ramping, dan keterbatasan sarana, prasarana serta fasilitas yang harus disiapkan sepertinya keberadaan Wamen tidaklah urgen. Dan, umumnya bukan kementerian vertikal, sehingga tidak ada unit kerja langsung di provinsi, maupun kabupaten-kota.
Demikian juga halnya, wamen di 7 kemenko, dikhawatirkan tugasnya tidak optimal, karena kemenko nonportofolio, dan jumlah kementerian yang dikoordinasikan lebih sedikit. Pengalaman saya sebagai deputi di salah satu kemenko 10 tahun yang lalu, banyak formasi eselon 3 dan 4 yang tidak diisi, karena belum dibutuhkan, padahal kotak strukturnya tersedia. Demikian juga, load kerja pejabat struktural eselon 1, SAM, ASDEP, serta kepala bagian-bidang di kemenko tidaklah optimal. Apalagi kemenko juga punya formasi staf khusus, yang terkadang kekuasaannya dapat melampaui pejabat organik-deputi.
Baca Juga:
Presiden Prabowo Subianto Terima Penghargaan “Grand Cross of the Order of the Sun of Peru”
Disamping akan tersitanya waktu dalam pengisian struktur baru birokrasi kementerian yang mekar maupun perubahan nomenklatur yang hitungan saya belum dapat dipastikan dalam 6 bulan selesai. Belum lagi persoalan alokasi anggaran (APBN) yang harus dibagi-bagi dengan plafon anggaran yang terbatas. Kue yang terbatas diperebutkan oleh banyak birokrat, apalagi birokrat yang baru terlibat dalam percaturan perjuangan anggaran tentu energi perjuangannya lebih besar.
Tarikan kepentingan antar lembaga kementerian, mencakup persoalan anggaran, SDM, pengisian struktur, perombakan struktur tidak dapat dihindarkan. Bagi ASN lembaga kementerian, posisi jabatan, jenjang karir, dan kepastian mendapatkan job suatu keniscayaan. Menteri boleh berganti, tetapi para birokratlah sebagai gatekeeper, untuk tetap berlangsungnya roda pemerintahan. Periuk nasi mereka di situ. Mereka kebanyakan tidak pandai bekerja selain menghabiskan waktunya sebagai ASN untuk mencukupi kehidupannya.
Resistensi akan terjadi jika dalam proses restrukturisasi itu, dalam persepsi mereka adalah kehilangan jabatan, berkurangnya pendapatan, didegradasinya wewenang, bahkan perlakuan diskriminatif, ditandai dengan pengaturan jabatan yang tidak profesional, tidak mengikuti jenjang karir, akrobatik, bahkan yang berbahaya jika dikaitkan dengan afiliasi politik.