Frasa “tanpa persetujuan korban” ada dalam Pasal 5 ayat (2) poin B, F, G, H, I, M, Permendikbud 30 yang menjelaskan perbuatan-perbuatan dalam kategori kekerasan seksual.
Dalam poin l, misalnya, peraturan itu menyebut kekerasan seksual mencakup tindakan “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, mencium, dan/atau menggosokkan tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban”.
Baca Juga:
Kebijakan Toilet Berbayar di MAN 1 Pamekasan Masuk Pungli, Bisa Dipidana
Menurut kelompok yang menolak, frasa itu bermasalah karena menunjukkan Peraturan Mendikbudristek mengizinkan adanya perbuatan tersebut dilakukan di lingkungan kampus.
Nina mendorong berbagai pihak untuk cermat memahami frasa itu.
“Mereka yang mendukung kebijakan ini perlu memberi kontranarasi agar masyarakat bisa dicerdaskan, tidak digiring oleh populisme yang logikanya tidak bisa diterima,” ujarnya.
Baca Juga:
Seorang Guru SMPN 1 Sukodadi, Gunduli Belasan Siswi Karena Tak Pakai Dalaman Jilbab
Kontranarasi yang dapat disampaikan, antara lain memberi pemahaman bahwa Permendikbud 30 merupakan aturan untuk melindungi korban kekerasan seksual dan menghukum pelaku.
Kontranarasi lainnya perbuatan asusila dan zina telah diatur dalam produk hukum yang lain dan tidak harus diatur kembali dalam Permendikbud 30.
“Menolak kebijakan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi (Permendikbud 30) sama dengan mendukung terjadinya kekerasan seksual,” tutur Nina.