WahanaNews.co | Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti dalam sidang Mahkamah Konstitusi membahas soal ratusan etnis Rohingya yang terdampar di Aceh beberapa waktu lalu karena diduga mendapat perlakuan tidak manusiawi di negara asalnya.
"Banyak orang dari negara tetangga kita yang mengalami penyiksaan dan pembunuhan yang sangat sistematis dan masif, sebagian di antaranya baru mendarat lagi Aceh," kata Bivitri Susanti saat menjadi ahli dalam sidang perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 yang disiarkan Mahkamah Konstitusi secara virtual di Jakarta, dilansir dari ANTARA, Senin (16/1/2023).
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 terkait dengan pengujian materi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).
Perkara itu diajukan oleh mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Muhammad Busyro Muqoddas, Marzuki Darusman dan perkumpulan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Etnis Rohigya tersebut, ujar Bivitri, terpaksa melarikan diri dari negara asalnya imbas dari kekejaman yang dihadapinya selama ini.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Menurut pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu, sebagai manusia, semua pihak harusnya merasa terpanggil atas tragedi itu
Kemudian dalam konteks hukum, masalah itu harusnya tidak hanya soal tanggung jawab kemanusiaan saja, namun bagaimana tanggung jawab Indonesia sebagai negara hukum juga harus muncul.
"Perkara itu tidak hanya menyangkut berapa jumlah korban yang terus berjatuhan dan terpaksa melarikan diri ke Indonesia, namun juga mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar harus segera dihentikan sesuai dengan mekanisme hukum," ucap Bivitri.