WahanaNews.co, Jakarta - Pakar Hukum dari Universitas Borobudur Jakarta, Prof. Faisal Santiago, menilai bahwa penegasan Mahkamah Konstitusi terkait orang tua kandung yang mengambil anak secara paksa tanpa hak atau izin dapat dikenai pidana, memberikan kejelasan hukum bagi kepolisian.
"Saya sepakat dengan putusan MK. Itu memberi kejelasan (bagi kepolisian)," ujar Faisal ketika dihubungi ANTARA dari Jakarta, Jumat.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Faisal mengatakan, saat ini disinyalir banyak kasus perebutan anak antara pasangan suami-istri yang sudah bercerai. Ia merujuk pada kisah para pemohon uji materi di Mahkamah Konstitusi, yakni lima orang ibu atas nama Aelyn Hakim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani.
Kelima pemohon merupakan ibu yang bercerai dan memiliki hak asuh anak berdasarkan putusan pengadilan. Namun, mereka tidak lagi dapat bertemu dengan buah hatinya karena sang ayah diduga membawa kabur anak.
Ketika para pemohon melaporkan perbuatan mantan suami ke kepolisian dengan menggunakan Pasal 330 ayat (1) KUHP, laporan mereka tidak diterima ataupun tidak menunjukkan perkembangan dengan alasan yang membawa kabur anak adalah ayah kandungnya sendiri.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
"Seharusnya, berdasarkan putusan pengadilan, misalkan, anak tersebut menjadi hak asuh ibu, maka apa pun yang dilakukan oleh bapak-nya harus seizin ibunya. Kalau bapak-nya mengambil secara paksa, itu bisa dikatakan perbuatan penculikan dan sebagainya," kata Faisal.
Oleh karena itu, Faisal mendukung penegasan dari Mahkamah Konstitusi yang memberi landasan bagi para penegak hukum untuk menindak laporan tersebut.
"Mahkamah Konstitusi kan tidak membatalkan anak biologis, bukan untuk menghalangi orang tua berhubungan dengan anaknya. Penegasan ini mencegah anak menjadi bancakan dari orang tuanya," ujar Faisal.
Sebelumnya, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan pengambilan anak oleh orang tua kandung yang tidak memiliki hak asuh atas putusan pengadilan, dilakukan dengan tanpa sepengetahuan dan seizin dari orang tua pemegang hak asuh, terlebih dilakukan dengan disertai paksaan atau ancaman paksaan, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan melanggar Pasal 330 ayat (1) KUHP.
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam pembacaan Putusan Nomor 140/PUU-XXI/2023 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/9).
Menurut MK, dalam menerapkan Pasal 330 ayat (1) KUHP, harus terdapat bukti bahwa kehendak untuk mengambil anak tanpa seizin orang tua pemegang hak asuh benar-benar datang dari pelaku, termasuk jika pelakunya adalah orang tua kandung anak.
"Seharusnya tidak ada keraguan bagi penegak hukum, khususnya penyidik Polri untuk menerima setiap laporan berkenaan penerapan Pasal 330 ayat (1) KUHP, dikarenakan unsur barang siapa yang secara otomatis dimaksudkan adalah setiap orang atau siapa saja tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ini adalah orang tua kandung anak," kata Arief.
[Redaktur: Andri Frestana]