Dalam berdemokrasi juga belum ada kejelasan jenis kelamin dari sistem yang dipilihnya.
Kondisi tersebut sudah barang tentu tidak bisa lepas dari proses amendemen UUD yang tidak didahului dengan perubahan platform sistem kenegaraan dari semula otoriter menjadi demokrasi.
Baca Juga:
Pemohon Uji Materi UU Pemilu Desak Percepatan Pelantikan Presiden Terpilih
Akibatnya, dalam menyusun UU turunannya, seperti UU Pemilu, alat kelengkapan sistem presidensial begitu saja dicampur dengan alat kelengkapan sistem parlementer.
Dari pencampuran tersebut, akhirnya dalam banyak hal terjadi praktik saling mereduksi dan bahkan menegasikan makna kedaulatan rakyat itu sendiri.
Dalam sistem parlementer, umpamanya, rakyat dalam pemilu memilih tanda gambar partai.
Baca Juga:
Mahfud MD: Saya Lebih Baik dari Prabowo-Gibran, tetapi Rakyat Lebih Percaya Mereka
Artinya, pemilu dalam sistem parlementer sesungguhnya adalah mekanisme kontrak sosial antara rakyat selaku pemilik kedaulatan dengan partai.
DPR dalam sistem parlementer adalah wakil partai dan karena itu dibutuhkan norma ambang batas perolehan kursi bagi partai untuk bisa duduk di DPR.
Ambang batas yang dimaksud adalah jumlah minimal perolehan kursi dalam pemilu sehingga partai bisa menempatkan wakilnya minimal satu orang pada semua alat kelengkapan DPR, seperti komisi-komisi dan lembaga resmi lainnya.