Norma itu juga nyata-nyata berpotensi melanggar kedaulatan rakyat karena ”suara” yang diberikan kepada caleg, sebagaimana dijelaskan di atas, dalam praktiknya bisa menjadi hilang dan bahkan kemudian tanpa seizin pemiliknya dialihkan kepada caleg lainnya.
Hal sejenis juga terjadi dalam kaitan dengan ambang batas presidensial (presidential threshold).
Baca Juga:
Pemohon Uji Materi UU Pemilu Desak Percepatan Pelantikan Presiden Terpilih
Pembuat UU dan juga hakim Mahkamah Konstitusi di negeri ini seharusnya memahami bahwa norma ambang batas presidensial hanyalah dikenal dalam sistem demokrasi campuran seperti yang dianut Perancis, Timor Leste, dan beberapa negara lain.
Konsep demokrasi campuran yang dimaksud hanya berlaku pada sistem parlementer, tetapi keberadaan kepala negara, dengan sebutan apa pun, tak mempunyai hubungan sejarah dengan keberadaan negara.
Artinya, keberadaan kepala negara dipilih melalui pemilu langsung, di mana rakyat mencoblos tanda gambar capres.
Baca Juga:
Mahfud MD: Saya Lebih Baik dari Prabowo-Gibran, tetapi Rakyat Lebih Percaya Mereka
Adapun memilih anggota DPR ditempuh melalui pemilu tidak langsung karena rakyat mencoblos tanda gambar partai.
Keberadaan norma presidensial dalam sistem demokrasi campuran sebagaimana diungkapkan di atas justru menjadi instrumen utama dalam menjaga stabilitas politik dan keselamatan negara.
Karena pada kondisi tertentu, yaitu ketika perdana menteri ”jatuh” akibat mosi tidak percaya, presiden mempunyai akses politik terhadap DPR, yaitu melalui partai atau gabungan partai yang dulu mengajukannya sebagai capres, sehingga potensi terjadi kekosongan kekuasaan secara berkepanjangan dapat dicegah.