WahanaNews.co | Istilah saksi mahkota sering dijumpai dalam praktik secara pidana.
Namun, istilah ini belum ada di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum acara pidana di Indonesia, yakni UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Baca Juga:
Vonis Seumur Hidup Kurir Sabu-sabu 13 Kg Diperkuat PT Medan
Meski demikian, kehadiran saksi mahkota dapat membantu para penegak hukum dalam pembuktian suatu perkara pidana.
Lalu, apakah saksi mahkota itu?
Pengertian saksi mahkota
Baca Juga:
Usai Blokir X Brasil Ancam Sanksi Starlink Milik Elon Musk, Mengapa?
Pengertian saksi mahkota adalah tersangka dan/atau terdakwa yang menjadi saksi untuk tersangka dan/atau terdakwa lain yang bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana.
Istilah saksi mahkota dapat ditemukan pada kasasi yang diajukan oleh kejaksaan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2437 K/Pid.Sus/2011 yang menyebutkan,
“Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai saksi mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka saksi mahkota didefinisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota.”
Mahkota yang dimaksud adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan kepada pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan.
Sementara itu, menurut Loebby Loqman, saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.
Saksi mahkota dalam praktik peradilan
Dalam praktiknya, penggunaan saksi mahkota dalam peradilan pidana disebabkan karena keterbatasan alat bukti dalam pembuktian perkara pidana.
Saksi mahkota digunakan dalam bentuk penyertaan (deelneming), dimana terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya.
Bentuk penyertaan meliputi segala bentuk terlibatnya orang, baik secara psikis maupun fisik, dengan melakukan perbuatan yang berbeda-beda, namun dari perbuatan-perbuatan tersebut saling menunjang sehingga terjadi tindak pidana.
Penggunaan saksi mahkota dalam pembuktian dapat diterapkan pada semua jenis tindak pidana dan tidak ada batasan.
Saksi mahkota digunakan dengan cara memisahkan berkas perkara (splitsing) sehingga saksi mahkota dapat memberikan keterangan terhadap terdakwa lain dalam perkara tersebut. [rgo]