WahanaNews.co, Jakarta - Salah satu pihak yang mengajukan uji materi terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah mencabut permohonannya di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa, (26/9/2023).
Permohonan yang memiliki nomor perkara 100/PUU-XXI/2023 itu awalnya diajukan oleh Hite Badenggan Lumbantoruan dan Marson Lumbanbatu.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
"Sejatinya hari ini agenda kita adalah perbaikan permohonan. Tetapi informasi yang kami terima, Pemohon menarik permohonan, ya. Kenapa ini, bisa disampaikan alasannya?" kata Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam agenda sidang pemeriksaan perbaikan di Gedung MKRI, Jakarta, Selasa (26/9), melansir CNN Indonesia.
Hite mengungkap alasannya menarik permohonannya itu setelah mendengar nasihat yang disampaikan hakim pada sidang pemeriksaan pendahuluan.
"Alasan yang pertama, kami juga menerima nasihat yang mulia soal sidang pertama," ujar Hite.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
"Kemudian, karena masih belum sempurna ya argumentasinya?" kata Saldi.
"Karena masih lemah argumentasi kami, Yang Mulia," timpal Marson.
Oleh karena itu, Saldi menyampaikan permohonan pencabutan uji materiil yang dimintakan para pemohon bakal dibahas pada Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
"Paling tidak, kami bertiga sudah bisa memastikan bahwa prinsipal atau pemohon memang mencabut permohonan ini," ujarnya.
Berdasarkan data di laman MK, perkara tersebut bakal kembali disidangkan dengan agenda pengucapan putusan/ketetapan di Gedung MKRI, Jakarta, pada 2 Oktober 2023 mendatang.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa "Berusia paling rendah 40 tahun" dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Berusia paling rendah 30 tahun".
Pada sidang sebelumnya, hakim konstitusi Arief Hidayat meminta para pemohon untuk memberikan alasan yang kuat mengenai alasan permohonan.
Selain itu, Arief juga menanyakan usia minimal 30 tahun yang tertuang dalam petitum para pemohon.
"Di dalam petitum yang konstitusional itu usianya 30 tahun bagi presiden dan wakil presiden. Kenapa angka 30 yang anda pilih? Padahal ada permohonan yang meminta 35 tahun, ada yang meminta 25 tahun, ada yang meminta 17 tahun. Berarti kalau berdasar itu maka saudara kira-kira bisa menganalisis kenapa anda memilih 30?. Nah itu yang harus anda jelaskan di dalam posita," kata Arief dalam persidangan, Rabu (13/9).
Dalam pandangan yang sejalan, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul juga menganggap penting adanya alasan yang kuat mengapa pemohon memilih usia 30 tahun sebagai batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden.
Selain itu, Manahan juga meminta pemohon untuk memperbaiki penyusunan permohonan sesuai dengan ketentuan Peraturan Mahkamah Konstitusi.
Pada kesempatan tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyarankan kepada para pemohon untuk melakukan peninjauan kembali terhadap petitum yang telah diajukan.
Pasal 169 huruf q dalam Undang-Undang Pemilu menjadi sasaran banyak gugatan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Sejumlah pihak telah mengajukan permohonan untuk mengubah persyaratan usia, baik batas usia minimal maupun maksimal.
Pada perkembangan terbaru, Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, mengumumkan bahwa pemeriksaan tiga perkara terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden telah selesai. Namun, belum ada informasi lebih lanjut mengenai jadwal sidang untuk mengumumkan keputusan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]