Oleh karena peristiwa kekerasan seksual di masyarakat saat ini sudah pada kondisi darurat, maka menurut Ketua Umum Dewan Pengurus ASA Indonesia, Sonia Ramadhani Syukur, S.H., LL.M, UU TPKS itu harus segera diimplementasikan dengan sungguh-sungguh oleh para pemangku kepentingan.
“Lahirnya UU TPKS yang merupakan bentuk komitmen negara untuk memberikan jaminan hak asasi manusia secara menyeluruh, khususnya dari kekerasan dan diskriminasi. Namun karena peristiwa kekerasan seksual di masyarakat saat ini sudah pada kondisi darurat, maka UU TPKS itu harus diimplementasikan dengan sungguh-sungguh oleh para pemangku kepentingan guna memastikan perlindungan bagi setiap warga negara, terutama buruh atau buruh perempuan dari kekerasan seksual di tempat kerja, juga kepada Anak-anak,” ujar Sonia.
Baca Juga:
Kepala Dinas Kaltim Sebut 568 Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak
“Untuk itu ASA menuntut Presiden agar segera mengesahkan aturan turunannya, serta bagi aparat hukum agar mengimplementasikan dalam penanganan kasus seperti tidak ada mekanisme RJ itu”, sambung Sonia.
Terkait implementasi keadilan restoratif, menurut Sonia, kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang dapat menimbulkan banyak dampak negatif bagi korban. Korban mengalami penderitaan fisik dan psikis, kerugian materil juga imateril terutama aspek psikososialnya yaitu penderitaan psikis yang pemulihannya membutuhkan waktu yang cukup lama bahkan seumur hidup.
Korban juga masih harus menanggung beban stigma negatif yang diberikan masyarakat kepada korban, sehingga pendekatan keadilan restoratif sebaiknya tidak diberlakukan dalam kasus kekerasan seksual terhadap siapapun pelakunya (meskipun kemudian dikecualikan terhadap Pelaku Anak), karena selain tidak melindungi korban, juga akan memunculkan pandangan umum bahwa apa yang dilakukan pelaku bisa diselesaikan dengan cara hanya menganti rugi karena ada mekanisme keadilan restoratif, yang toh nantinya juga akan difasilitasi oleh aparat penegak hukum (APH).
Baca Juga:
Kinerja Hukum Indonesia dalam Penanganan Kasus KBGO
“Penghentian penyidikan kasus kekerasan seksual karena penyelesaian melalui pendekatan RJ dengan adanya perdamaian, kesepakatan, atau melalui perkawinan antara pelaku dengan korban yang bisa saja difasilitasi oleh oknum APH atau diintimidasi oleh pihak pelaku, agar pelaku bebas dari jerat hukum, hal ini tentu bukan lah jalan keluar penanganan kasus yang tepat bagi korban untuk memperoleh keadilan,” kata Sonia.
“Justru akan membawa korban pada masalah-masalah baru seperti re-viktimisasi. Sejatinya kita juga menginginkan agar APH menghindari penyalahgunaan mekanisme RJ itu”, sambungnya.
Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Kajian Hukum, Advokasi Kebijakan dan Publikasi Akademik ASA Indonesia, Johan Imanuel, di dalam UU TPKS ada 11 (sebelas) pasal yang mengamanatkan untuk segera disahkannya aturan turunannya berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.