WahanaNews.co | Mahkamah Konstitusi (MK) melaksanakan sidang lanjutan Perkara Nomor 16/PUU-XIX/2021 pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), pada Selasa (7/9).
Pokok perkara yang diuji yakni pelaksanaan pemungutan suara pemilu serentak yang menyebabkan beban kerja di tingkat KPPS, PPS, dan PPK tidak rasional dan tidak layak.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Sidang kali ini mengagendakan mendengarkan keterangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah. Dalam sidang yang digelar di ruang sidang paripurna MK, Selasa (7/9), anggota KPU, Hasyim Asy'ari yang hadir secara daring menjabarkan perbedaan Pemilu Serentak 2019 yang memiliki karakteristik berbeda jika dibandingkan Pemilu 2004, 2009, dan 2014.
"Karena pada Pemilu 2019 dilakukan pemilu secara langsung untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPRD, baik provinsi/kabupaten/kota dalam satu waktu yang sering kali disebut sebagai pemilu lima kotak suara," jelas Hasyim seperti dikutip dalam keterangan pers pada website MK.
Hasyim menjelaskan bahwa Pemilu Serentak 2019 pada prinsipnya berjalan sesuai jadwal. Program dan tahapan berjalan dengan baik, aman, dan kondusif, dengan mengutamakan kepentingan umum, proporsionalitas, kepastian hukum, akuntabilitas, efisien dan efektif.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Walaupun, lanjut Hasyim, berdasarkan data, tingkat partisipasi Pemilu Serentak 2019 dapat dikatakan cukup tinggi dengan angka partisipasi pemilih mencapai 81,93%. Namun pemilu serentak memiliki dampak beban yang berat bagi KPU dan Badan Ad hoc yang memakan banyak korban.
"Pemilu Serentak 2019 memiliki implikasi penambahan beban kerja bagi KPU dan badan ad hoc sehingga menimbulkan kelebihan jam kerja yang memunculkan banyak korban jiwa," ujarnya
Sebagaimana diketahui, para pemohon yang merupakan warga negara Indonesia bertugas pada Pemilu 2019 sebagai penyelenggara pemilu di tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Mereka memohon pengujian Pasal 167 ayat (3), dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu. Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu yang menyatakan, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional. Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, pemungutan suara Pemilu diselenggarakan secara serentak.
Uji materiil itu seperti dipaparkan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan sebelumnya yang digelar di MK pada Rabu (9/6). Kuasa hukum para pemohon, Kahfi Adlan Hafiz memaparkan beban kerja para pemohon sebagai penyelenggara pemilu di tingkat KPPS, PPK, PPS pada Pemilu 2019. Kahfi mengungkapkan, terdapat persoalan yang sangat penting dan mendasar terkait beban kerja penyelenggara pemilu.
penyelenggara pemilu, khususnya penyelenggara di tingkat KPPS, PPK, dan PPS yang menurut para pemohon sangat berat, tidak rasional, dan tidak layak," kata Kahfi.
Atas dasar beratnya beban kerja menjadi dasar persoalan konstitusional yang diajukan kepada MK berkaitan. Walaupun demikian, para pemohon tetap bertekad akan kembali berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu di baik di level KPPS, PPK, PPS pada Pemilu 2024.
"Persoalan konstitusionalitas ini juga akan berdampak pada kepentingan yang lebih luas, khususnya terkait dengan beban kerja penyelenggara pemilu adhoc di seluruh wilayah Indonesia untuk penyelenggaraan Pemilu 2024," katanya
Khususnya KPPS, PPK, dan PPS pada tahapan pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara, yang punya kaitan langsung agar penyelenggaraan pemilu bisa berjalan sesuai dengan daulat rakyat, pemilu yang jujur, adil, serta beban kerja penyelenggara pemilu yang lebih rasional, layak, dan manusiawi.
Penjelasan Pemerintah
Pada sidang tersebut, hadir mewakili pemerintah, staf ahli Bidang Hukum dan Kesatuan Bangsa Kementerian Dalam Negeri, Eko Prasetyanto Purnomo Putro menjelaskan pengertian Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, "Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD".
"Perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui pemilihan umum, sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih pemimpin melalui pemilihan presiden dan wakil presiden yang dipilih secara berpasangan, secara langsung dan memilih wakil-wakilnya yang akan melakukan fungsi pengawasan, penyaluran aspirasi politik rakyat, menjadikan undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsinya masing-masing serta merumuskan perkiraan pendapatan dan pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan fungsi tersebut," jelas Eko saat sidang, Selasa (7/9).
Sementara, lanjut Eko, pernyataannya dengan mengutip Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, pemilihan umum diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Kemudian Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dari kedua pasal UUD 1945 tidak mengatur bahwa pemilu harus dilaksanakan serentak atau tidak serentak.
"Dengan demikian pengaturan mengenai penyelenggaraan pemilu serentak atau tidak serentak, memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPRD, anggota DPRD, merupakan pengaturan yang bersifat open legal policy (kebijakan hukum terbuka)," jelas Eko.
Pertimbangan MK dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang Pemeriksaan Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tertanggal 23 Januari 2014, kata Eko, pada intinya menyatakan pemilu harus diselenggarakan secara serentak berdasarkan tiga alasan.
"Alasan pertama, berdasarkan praktik konstitusional, pelaksanaan pemilihan presiden yang dilakukan setelah pemilihan legislatif, tidak memberikan penguatan pemerintahan yang disyaratkan oleh konstitusi," jelasnya.
"Alasan kedua, dari segi original intent, gramatikal dan sistematis, pemilihan presiden dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan legislatif. Alasan ketiga, pemilihan presiden dan legislatif akan lebih efisien, menghemat anggaran," sebutnya. [dhn]