Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin menjelaskan bahwa kasus ini bermula pada 2018. Saat itu, Rasnal dan Abdul Muis bersama komite sekolah menyepakati iuran sukarela Rp20.000 per bulan dari orangtua siswa untuk membantu guru honorer yang tidak terdaftar di Dapodik.
"Saya hanya ingin membantu sekolah, tapi akhirnya dianggap melanggar hukum," ucap Muis pada 10 November /2025.
Baca Juga:
Soal Guru Madrasah Aksi Nasional 30 Oktober, Ini Respons Kemenag
Rasnal mengaku, kesepakatan dibuat secara terbuka melalui rapat resmi. "Saya tidak tega melihat mereka tetap mengajar tanpa bayaran. Ini soal kemanusiaan," katanya, dilansir dari Kompas.com, Senin.
Namun, keputusan itu justru dianggap melanggar aturan karena dinilai sebagai pungutan liar. Terpisah, salah satu orangtua siswa bernama Akrama, membenarkan bahwa iuran tersebut hasil kesepakatan bersama.
Dia menegaskan bahwa tidak ada unsur paksaan dan berharap hak kedua guru tersebut dikembalikan.
Baca Juga:
2.000 Guru di Sumedang Ikuti Seminar Nasional “How To Be A Great Teacher''
"Ini kan kesepakatan orangtua. Waktu itu saya hadir, bahwa setiap siswa dimintai Rp 20 ribu per bulan untuk menggaji guru honorer yang tidak ter-cover dana BOSP, yaitu guru yang tidak masuk dalam Dapodik," ujarnya pada 11 November 2025.
[Redaktur: Alpredo Gultom]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.