WahanaNews.co, Jakarta - Adardam Achyar, Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), menegaskan perjuangannya untuk wadah tunggal organisasi advokat di Indonesia.
Meski secara de jure hanya Peradi yang diakui, Adardam mencatat masih ada organisasi advokat lain yang beroperasi dalam kewenangan negara, yang seharusnya hanya dimiliki oleh Peradi sesuai UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Baca Juga:
DPC PERADI Kabupaten Bogor 2024-2028 Dilantik Luhut M.P. Pangaribuan
Selain itu, Adardam bersama Sekjen Rivai Kusumanegara dan Ketua Harian Suhendra Asiodo Hutabarat menyatakan ketidaksetujuan terhadap wacana pembentukan Dewan Advokat Nasional (DAN) oleh Pemerintah melalui Tim Percepatan Reformasi Hukum.
“Menurut kami ini tidak sejalan dan bertentangan dengan Undang-Undang Advokat yang mengatur dan memastikan bahwa hanya ada satu organisasi advokat, dalam hal ini single bar (Peradi),” kata Adardam di sela-sela Rakernas Ikadin Tahun 2023 di Jakarta, Jumat (17/11).
Ket foto: Turut hadir perwakilan pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC Ikadin Jakarta Timur. [WahanaNews.co/Ondo Simarmata]
Baca Juga:
Prof Otto Hasibuan Komprehensif Bahas Pentingnya Single Bar di Depan Ketua MA
Acara tersebut bertajuk Melalui Rakernas Ikadin 2023, Ikadin Memperkokoh Kedudukan Peradi sebagai Satu-satunya Organisasi Advokat.
Rakernas kali ini, imbuh dia, membahas berbagai program dan evaluasi, termasuk persoalan hukum terkini di Tanah Air, di antaranya soal wadah tunggal (single bar) organisasi advokat dan pendirian Dewan Advokat Nasional yang kembali muncul.
Sementara itu, Ketua Dewan Penasihat Ikadin Otto Hasibuan menyampaikan DAN akan membuat advokat tidak independen karena akan di bawah kendali pemerintah.
“Kalau sampai itu terjadi, berarti advokat itu berada di dalam kekuasaan pemerintah, dia bisa dikontrol pemerintah. Yang jadi korban itu adalah pencari keadilan, klien-klien kita ini, masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, mantan Hakim Agung Gayus T Lumbuun selaku narasumber dalam seminar yang dihelat dalam rakernas menilai single bar tapi rasa multibar terjadi karena adanya Surat Mahkamah Agung No 73 Tahun 2015. Berbekal surat itu pengadilan tinggi (PT) pun bisa mengambil sumpah calon advokat di luar dari Peradi.
“Surat Ketua Mahkamah Agung yang menjadi cikal bakal persoalan sehingga menjadikan provokasi menurut saya, ini membangkang.”
Ia menegaskan, surat tersebut mengangkangi UU Advokat serta putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tegas menyatakan bahwa hanya ada wadah tunggal organisasi advokat, yakni Peradi.Dengan demikian, kata dia, organisasi lain di luar Peradi yang menjalankan kewenangan negara, seperti mengangkat advokat adalah ilegal.
“Adanya organisasi advokat yang lain tentu ini bertentangan dengan UU Advokat dan putusan MK,” terang dia.
Narsumber selanjutnya, Wakil Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menyampaikan single bar adalah alternatif yang terbaik dan menjadikan advokat dan organisasinya setara dengan penegak hukum lainnya
“Daya tawar kita (advokat) akan semakin lemah kalau konsepnya tidak single bar, karena sulit sekali kita mencari standar, baik individu maupun organisasinya. Jadi politik hukum kita mendorong single bar,” katanya.
Sedangan dua narasumber lain, yakni dosen Fakultas Hukum (FH) Univesitas Islam Indonesia (UII) Muhammad Arif Setiawan dan pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid menyatakan, single bar sudah final karena UU Advokat menyatakan demikian. Ini hanya tinggal implementasinya yang masih bertentangan.
[Redaktur: Amanda Zubehor]