WahanaNews.co, Jakarta - Hakim Konstitusi menilai berkas permohonan uji materiil yang diajukan Mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI) Ahmad Alfarizy dan Nur Fauzi Ramadhan seperti sudah berpengalaman berperkara di Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka mengajukan permohonan uji materiil Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Ahmad dan Nur Fauzi ingin MK melarang calon anggota legislatif terpilih pada Pileg 2024 mengajukan diri untuk maju di Pilkada 2024.
Keikutsertaan caleg terpilih pada Pilkada dinilai mengkhianati mandat yang telah diberikan oleh rakyat selaku pemilih.
Ahmad dan Nur Fauzi hadir secara luring dan membacakan ringkasan permohonannya di sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang pleno gedung MK, Jakarta, Jumat (2/2/2024).
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Di persidangan, Nur Fauzi menjelaskan dirinya adalah penyandang disabilitas tuna netra total.
Tiga hakim panel pada sidang itu pun memberikan nasihatnya terhadap permohonan yang diajukan. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mulanya bertanya apakah ini pertama kalinya Ahmad dan Nur Fauzi mengajukan permohon di MK. Keduanya kompak menjawab iya.
Keduanya kemudian mengaku pernah menang dalam lomba peradilan semu yang diadakan MK bekerja sama dengan Universitas Andalas, Padang, dengan kategori berkas permohonan terbaik.
Enny lantas melempar pujian terhadap berkas permohonan yang diajukan.
"Oh, totally (tuna netra). Tapi hebat nih, saudara bisa menyusun permohonan dan ikut di dalam sebagai berkas terbaik dalam kompetisi itu, ya. Saya apresiasi sekali atas usaha dan kerja kerasnya. Tidak mudah memang untuk mengajukan permohonan pertama, ya. Tapi saya baca-baca ini, kayaknya sudah punya pengalaman. Ternyata pengalamannya pengalaman di moot court itu, ya?" ujar Enny.
Enny menilai permohonan yang diajukan Ahmad dan Nur Fauzi disusun layaknya sudah berpengalaman berperkara di MK. Ia kemudian memberikan cacatan untuk permohonan ini.
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh turut memuji permohonan yang diajukan oleh Ahmad dan Nur Fauzi. Menurutnya, berkas permohonan ini layak dapat nilai A. Adapun Daniel juga mengapresiasi Ahmad dan Nur Fauzi karena dinilai mampu untuk mengkonstruksi norma untuk masa depan.
"Tapi yang pasti, pertama, saya apresiasi dulu, ya. Ini Anda mampu untuk bisa mencoba mengkonstruksi norma untuk masa depan, ya. Karena biasanya pembentuk undang-undang itu jarang untuk menormakan sesuatu yang belum terjadi, ya. Tapi Anda mampu untuk mewujudkan itu dalam bentuk Permohonan ini, ya. Karena itu tadi saya katakan kalau saya dosen ini sudah nilai A ini," kata Daniel.
MK minta penggugat cermati petitum
Kendati demikian, Daniel juga menanggapi kerugian potensial yang dimohonkan oleh pemohon soal kemungkinan caleg terpilih mengikuti pilkada. Menurut Daniel, hal itu seperti menggiring MK untuk menangani sesuatu yang fiksi. Daniel pun meminta Ahmad dan Nur Fauzi untuk kembali mencermati petitum yang diajukan.
Senada, Ketua MK Suhartoyo juga meminta Ahmad dan Nur Fauzi untuk memperhatikan jeda waktu penyelenggaraan antara Pileg 2024 dan Pilkada 2024.
"Sequence waktu tersebut dapat dijadikan syarat ketika terpilih jadi anggota DPR, DPRD, dan DPD, nah itu akan berlaku ketika betul-betul riil dia sudah menjadi anggota, sebagaimana ketentuan Pasal 7 huruf s itu? Nah, ini pilihan-pilihan," kata Suhartoyo.
"Nanti bisa Anda narasikan dan carikan argumentasi bahwa seseorang yang masih menjadi calon itu kan, ada hak dan kewajiban konstitusionalnya yang kemudian belum melekat sebenarnya," sambung dia.
Suhartoyo menjelaskan para pemohon diberi waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Karenanya, naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Kamis (15/2) pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK.
Permohonan yang diajukan
Ahmad sebelumnya menerangkan alasan permohonan bahwa pelaksanaan pemilu dan pilkada yang dilakukan serentak pada 2024 ini berpotensi besar pada munculnya dual mandate bagi peserta yang ikut dalam kontestasi pesta demokrasi tersebut.
Para pemohon menilai kondisi ini merugikan masyarakat yang pada awalnya memilih seseorang untuk mengisi posisi anggota legislatif, justru harus menerima bahwa kandidat yang dipilihnya kemudian maju menjadi calon kepala daerah tanpa mengundurkan diri.
"Apabila mahkamah mengabulkan permohonan ini, maka ada dua jaminan yang dapat diberikan, 1) memastikan tahapan Pilkada Serentak Tahun 2024 tidak akan terganggu apabila di kemudian hari Mahkamah mengabulkan perkara ini; dan 2) memberikan kepastian waktu bagi caleg DPR, DPRD, atau DPD yang hendak maju juga pada Pilkada 2024 untuk berpikir secara matang dan konsekuen terhadap rencana tersebut," kata Ahmad.
Para pemohon turut mengajukan permohonan provisi yang meminta MK untuk memprioritaskan perkara ini dan menjatuhkan putusan sebelum dimulainya masa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sebelum dimulainya tahapan pendaftaran pasangan calon peserta Pilkada Tahun 2024.
Kemudian dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Adapun para pemohon ingin Pasal 7 huruf s itu berbunyi, "menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkan rekapitulasi suara dari KPU sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan."
[Redaktur: Alpredo Gultom]