WahanaNews.co | Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir lagi 8 rekening dengan total nominal sebesar Rp 150,4 M.
Temuan tersebut hasil pemantauan terhadap aliran dana dari investor ke berbagai pihak yang diduga menjual produk investasi ilegal.
Baca Juga:
Jerat Eks Pegawai MA Zarof Ricar, Kejagung Buka Peluang Lewat TPPU Gratifikasi Rp920 Miliar
"Hari ini PPATK kembali melakukan penghentian sementara transaksi dan blokir mencapai nilai Sebesar Rp150,4 M dan jumlah tersebut berasal dari 8 rekening yang diperoleh dari 1 Penyedia Jasa Keuangan (PJK)," ujar Kepala PPATK Ivan Yustiavadana dalam keterangannya, Senin (7/3).
PPATK juga telah melakukan penghentian sementara dan blokir mencapai nilai sebesar Rp202 M yang berasal dari 109 rekening pada 55 Penyedia Jasa Keuangan.
Jumlah tersebut ada kemungkinan bertambah sesuai dengan proses analisis yang dilakukan oleh PPATK.
Baca Juga:
Kejagung Ungguli KPK dalam Mengusut Kasus Korupsi dan TPPU
"PPATK memiliki kewenangan dalam melakukan penghentian sementara transaksi selama 20 hari kerja dan selanjutnya berkoordinasi serta melaporkan kepada penegak hukum terhadap transaksi mencurigakan dalam nominal besar terkait investasi yang diduga ilegal," katanya.
“Pertimbangan PPATK dalam melakukan langkah tersebut antara lain karena adanya laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dari Penyedia Jasa Keuangan serta sejumlah ketidakwajaran profiling,” tambahnya.
PPATK menduga orang-orang kaya, yang kerap disebut crazy rich, melakukan tindak pidana pencucian uang. Berdasarkan analisis PPATK terhadap dugaan penipuan dan pencucian uang dalam kasus investasi ilegal ditemukan adanya transaksi pembelian aset mewah berupa kendaraan, rumah, perhiasan, dan aset lainnya yang wajib dilaporkan penyedia barang dan jasa (PBJ) sebagai pihak pelapor kepada PPATK, tapi dalam pelaksanaannya tidak dilaporkan kepada PPATK.
"Mereka yang kerap dijuluki 'crazy rich' ini patut diduga melakukan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari investasi bodong dengan skema Ponzi," ujar Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dikutip dari Antara, Minggu (6/3).
Dia mengatakan, dugaan melakukan penipuan semakin menguat.
Tak hanya dari deteksi aliran dana investasi bodong yang dijalaninya, namun juga nampak dari kepemilikan berbagai barang mewah yang ternyata belum semuanya dilaporkan oleh penyedia barang dan jasa dimana mereka membeli.
"Setiap penyedia barang dan jasa wajib melaporkan laporan transaksi pengguna jasanya atau pelanggan kepada PPATK, dengan mempedomani penerapan prinsip mengenali pengguna jasa yang telah diatur dalam peraturan PPATK," kata Kepala PPATK.
Dalam melaporkan berbagai jenis laporan yang telah diatur oleh negara, peran pihak pelapor PPATK sangatlah penting dan krusial, tak terkecuali penyedia barang dan jasa.
Pihak pelapor, sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang mengatur secara tegas pengenaan sanksi bila tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2021 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (TPPU-PT).
Para penyedia barang dan jasa/lainnya (PBJ) merupakan pihak pelapor yang wajib menyampaikan laporan transaksi kepada PPATK. Hal ini merupakan prinsip dasar pencegahan dan pemberantasan TPPU-PT yang menjadi international best practices.
Sebagaimana yang tertuang dalam rekomendasi financial action task force (FATF) sebagai salah satu upaya menjaga integritas sistem keuangan Indonesia dan perlindungan publik terhadap tindak kriminal. [rin]