WahanaNews.co | Mantan Kadivhubinter Polri, Irjen Napoleon Bonaparte, menjadi
saksi dalam sidang kasus suap penghapusan DPO Imigrasi dengan terdakwa Djoko
Tjandra.
Dalam kasus itu, Djoko Tjandra didakwa
menyuap Napoleon senilai SGD 200 ribu dan USD 270 ribu melalui pengusaha Tommy
Sumardi agar namanya dihapus dalam daftar DPO Imigrasi.
Baca Juga:
Pernah Putus Sekolah, Djoko Jadi Pemilik Alfamart Berharta Triliunan
Meski demikian, Napoleon menegaskan
tak pernah menghapus nama Djoko Tjandra di daftar Imigrasi, lantaran bukan kewenangannya.
Ia justru menyinggung sosok Tommy yang berani bergerak atas nama Djoko Tjandra, yang saat
itu menjadi buronan cessie Bank Bali.
Napoleon menilai, Tommy berani berbuat
hal tersebut dan bertanya status DPO Djoko Tjandra karena kedekatan dia dengan nama-nama besar di belakangnya.
Baca Juga:
MA Perberat Masa Hukuman Djoko Tjandra Jadi 4,5 Tahun
"Dia (Tommy) bawa tiga nama besar
saat itu. Mungkin ini yang dia tidak ingin
didengar Prasetijo (eks Kakorwas PPNS Bareskrim, Brigjen Prasetijo). Jadi
(Tommy) mengatakan, 'ini urusan bintang 3, bintang 1
keluar dulu'. Loh kok mau Prasetijo bintang 1 keluar, tapi saya paham Prasetijo
adalah pejabat di Bareskrim. Jadi mau disuruh keluar, dan
bahasanya sudah seperti teman," kata Napoleon, di
Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (10/12/2020).
Napoleon menyatakan, Tommy menanyakan status DPO Djoko Tjandra kepadanya pada awal
April 2020, di kantornya. Saat itu, kata Napoleon, Tommy
menyebut 3 nama besar.
"Saya ingin tahu siapa. Jadi
orang pertama yang disebut dan katanya betul, dia cerita utusan dan dekat
dengan Kabareskrim (Komjen Pol Listyo Sigit) dengan menunjukkan foto,"
kata Napoleon.
"Selanjutnya dia menunjukkan foto
ngelola dapur umum di Tanah Abang dan Menteng, katanya
untuk korban Covid-19. Setiap hari dia siapkan 6.000
nasi bungkus," tambah Napoleon.
Terakhir, kata Napoleon, Tommy
membawa-bawa nama Wakil Ketua DPR F-Golkar, Azis Syamsuddin, dan bahkan meneleponnya.
"Dia menelepon Azis Syamsuddin,
Wakil Ketua DPR, dan menyerahkan HP-nya ke saya. Telepon-telepon ini saya pahami bahwa orang ini
meyakinkan saya bahwa permintaannya tolong dilayani, karena
pertama membawa jenderal dan menunjukkan kedekatannya dengan Kabaresrim. Walau
saya tahu dia itu adik kelas, kemudian ingin menunjukkan yang lebih besar lagi, yaitu Pak Azis Syamsuddin juga petinggi," ungkap Napoleon.
Napoleon mengakui diminta mengecek
status DPO Djoko Tjandra. Namun, ia menegaskan tidak pernah menerima
sesuatu pun dari Tommy.
"Tidak pernah terima, tidak
terima juga dari bawahan saya. Saya sejak pertama kali mendengar (pemberian)
itu sebetulnya ingin punya waktu klarifikasi dengan Tommy, tapi saat itu saya masih menjabat Kadivhubinter, tapi saya tahu
beliau (Tommy) dijaga ketat oleh petugas tidak berseragam anggota Polri,"
ungkap Napoleon.
"Saudara sudah disumpah, ya?" tanya hakim Saifuddin Zuhri.
"Ya benar, Yang Mulia, saya tidak
terima," kata Napoleon.
Balas Surat Istri Djoko Tjandra
Saat sidang, Napoleon mengakui pernah
membalas surat istri Djoko Tjandra, Anna Boentaran, yang meminta penjelasan
mengenai status red notice suaminya.
Menurutnya, balasan surat semata
karena ingin melayani masyarakat.
"Kami pokoknya melayani publik,
bila ada yang minta kami layani karena ada permintaan," kata Napoleon.
"Tapi surat Anna Boetaran tidak
bernilai apa-apa bagi kami hanya karena dia istri subjek hukum tidak ada
salahnya memberi tahu," lanjutnya.
Napoleon mengaku mendapat surat dari
Anna pada 16 April 2020, yang diantarkan Tommy Sumardi.
Napoleon kemudian mengeceknya ke
sistem Interpol.
"Ternyata red notice Djoko Tjandra sudah tidak berlaku permanen sejak 10 Juli
2019. Dapat saya jelaskan red notice
itu berlaku 5 tahun pertama sejak terbit, yaitu
pada 10 Juli 2009, artinya selesai pada Juli 2014. Bila
tidak diperpanjang oleh aparat penegak hukum, dalam hal
ini Kejaksaan, maka masuk ke 5 tahun kedua yang
namanya grounded, artinya nama Djoko
Tjandra masih ada di red notice tapi
tidak bisa lagi untuk ditangkap," jelas Napoleon.
Napoleon menilai, bahkan jika Djoko Tjandra melanglang buana keliling dunia,
Interpol di berbagai negara tidak bisa menangkapnya.
Sebab status red notice Djoko Tjandra tidak diperpanjang Kejagung.
"Jadi status red notice hanya sebagai arsip saja, boleh diperpanjang tapi
ternyata tidak juga diperpanjang, jadi 2019 terhapus permanen dan tidak
bisa diminta perpanjangan lagi, kecuali diminta red notice yang baru," jelas Napoleon. [qnt]