WahanaNews.co, Jakarta - Jimly Asshiddiqie, yang pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pada periode 2003-2008, menyatakan bahwa membuktikan adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam pemilihan presiden (Pilpres) merupakan suatu hal yang sulit.
Situasinya berbeda dengan pemilihan anggota legislatif (Pileg) atau pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang pernah diulang karena adanya kecurangan TSM.
Baca Juga:
Dinilai Tak Efektif, Jimly Asshiddiqie: Hak Angket Usut Kecurangan Pemilu Cuma Gertakan
“Untuk tingkat nasional, memang terlalu sulit membuktikannya. Kita kan enggak bisa mengeneralisasi,” kata Jimly, dikutip dari program GASPOL! yang tayang di Youtube Kompas.com, Sabtu (2/3/2024).
Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa kecurangan dalam Pemilihan Presiden 2019 lebih serius daripada dalam Pemilihan Presiden 2024.
Alasannya adalah karena pada Pilpres 2019, Joko Widodo (Jokowi), yang saat itu menjabat sebagai presiden, mencalonkan diri kembali sebagai calon presiden.
Baca Juga:
Pakar Hukum Sebut Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 Tidak Legitimate
“Sebenarnya 2019 itu lebih parah. Karena presidennya itu kampanye langsung, incumbent dan itu pemilu serentak juga,” ujar Jimly.
“Pilpres 2019 lebih ribet, dia (Jokowi) presiden. Dia berkampanye. Ke mana kira-kira sikap kepala desa?” kata Jimly lagi.
Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan Ketatanegaraan itu juga meminta agar pihak-pihak yang menyuarakan hak angket tidak dihalangi.
Diketahui, wacana menggulirkan hak angket di DPR RI guna menyelidiki dugaan kecurangan Pilpres 2024 mencuat.
Menurut Jimly, hak angket bisa digunakan untuk menyalurkan kekecewaan publik.
“Proses hukum ini jalanin saja. Tetapi proses politik ini enggak usah dihalangi juga, biar saja. Karena ini kan menyalurkan kekecewaan melalui ruang sidang forum politik di DPR, forum hukum di Bawaslu dan MK,” ujar Jimly.
Jimly Asshiddiqie, seorang ahli hukum tata negara, menyatakan bahwa penggunaan hak angket bertujuan untuk mengalihkan kemarahan publik dari jalanan atau tindakan kekerasan, seperti membakar ban, ke ruang sidang.
Dia menekankan perlunya menyadari bahwa kekecewaan dari pihak yang mendukung dapat disalurkan melalui proses hukum di ruang sidang.
“Memindahkan kemarahan dari jalanan, bakar-bakar ban, ke ruang sidang. Ini harus disadari. Kita salurkan kekecewaan para pengusung ini ke ruang sidang” kata Jimly.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]