Menurut
Boyamin, dengan tetap menebalkan sangkaan Pasal 6 ayat (1)-a dalam dakwaan, membuat Jaksa Penuntut Umum (JPU)
punya dasar penjeratan hukuman untuk penuntutan, jika suap-gratifikasi hakim tersebut
terungkap dalam persidangan. Akan tetapi sebaliknya, dikatakan Boyamin, jika
sangkaan suap-gratifikasi hakim tersebut hilang, tetapi terungkap saat
persidangan, JPU tak punya dasar dakwaan untuk penuntutan.
"Itu
yang sangat kita sayangkan," terang Boyamin.
Baca Juga:
Kemen PPPA Pastikan Penegakan Hukum dan Keadilan bagi Korban KDRT 5 ART di Jaktim
Tersangka
Andi Irfan Jaya akan menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Tindak
Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta, Rabu (4/11/2020). Menengok laman SIPP PN Tipikor, politikus Nasdem
tersebut akan didakwa dengan dua sangkaan primer dan subsider.
Primer
pertama, JPU akan mendakwa Andi Irfan dengan sangkaan Pasal 5 ayat (2) juncto
Pasal 5 ayat (1)-a UU
Tipikor 31/1999-20/2001 juncto Pasal 56 ke-1 KUH Pidana. Primer kedua, JPU
menebalkan sangkaan Pasal 11 UU Tipikor.
Adapun
dalam dakwaan subsider pertama, JPU menggunakan Pasal 15 jo Pasal 5 ayat (1)-a UU Tipikor. Subsider kedua, Pasal 15 jo Pasal 13 UU
Tipikor.
Baca Juga:
Peluang dan Tantangan: Etika & Politik Kenegaraan Indonesia
Rentetan
dakwaan untuk Andi Irfan ini berbeda saat JAM Pidsus menetapkannya sebagai
tersangka, 2 September lalu. Saat itu, penyidik tak cuma menetapkan Andi Irfan
sebagai tersangka pemberian suap, gratifikasi, serta permufakatan jahat dalam
Pasal 5 dan Pasal 15 UU Tipikor. Tetapi, penyidik juga menggunakan sangkaan
dalam Pasal 6 ayat (1)-a UU
Tipikor.
Pasal
tersebut, terkait ancaman pidana maksimal 15 tahun bagi seseorang yang memberi,
atau menjanjikan sesuatu, kepada
hakim. Pasal tersebut memang khusus terkait suap-gratifikasi terhadap "Wakil Tuhan". Pasal 6 terhadap
Andi Irfan saat penetapan tersangka melihat objek penyidikan terkait dengan
upaya penerbitan fatwa bebas MA untuk Djoko Tjandra.
Dalam
penyidikan terungkap, Andi Irfan bersama jaksa Pinangki Sirna Malasari
menawarkan skema pembebasan Djoko Tjandra menggunakan jalur penerbitan fatwa MA. Skema dengan judul Action Plan JC Case 2019 tersebut
dibanderol senilai USD 10 juta
(Rp 150 miliar). Uang ratusan miliar tersebut rencananya akan digelontorkan
untuk pejabat tinggi di Kejagung, pun MA.