Atas
rencana tersebut, Djoko Tjandra memberikan janji uang USD 1 juta (Rp 15 miliar) untuk Pinangki dan Andi Irfan.
Sebagai tanda jadi, Djoko Tjandra memberikan panjar USD 500 ribu (Rp 7,5 miliar) kepada Pinangki. Uang panjar
tersebut diberikan lewat Andi Irfan. Jaksa Pinangki sudah diseret ke PN
Tipikor, 23 September lalu. Dalam dakwaan Pinangki, dijelaskan penanggungjawab
pelobian hakim di MA adalah Andi Irfan.
Sedangkan
penanggungjawab atas upaya surat menyurat
dari Kejagung untuk meminta fatwa ke MA, adalah Pinangki. Terkait surat
menyurat itu, ada inisial BR dan HA, yang
diakui sebagai Burhanuddin dan Hatta Ali. Selain itu, ada dua inisial lain, yakni DK dan IF, yang sampai hari ini tak diketahui nama sebenarnya.
Baca Juga:
Kemen PPPA Pastikan Penegakan Hukum dan Keadilan bagi Korban KDRT 5 ART di Jaktim
Kepala
Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Hari Setiyono, menerangkan, hilangnya Pasal 6 dalam dakwaan Andi
Irfan itu karena penyidik tak menemukan
bukti adanya suap kepada hakim di MA.
"Jadi
dia (Andi Irfan) hanya swasta yang bersama-sama Pinangki (terdakwa), sebagai
penegak hukum,
melakukan tindak pidana permufakatan jahat," terang Hari, Senin (26/10/2020).
Direktur
Penyidikan di JAM Pidsus, Febrie
Adriansyah, juga pernah menegaskan tentang hal yang sama.
Baca Juga:
Peluang dan Tantangan: Etika & Politik Kenegaraan Indonesia
"Tidak ada
bukti penyuapan (kepada hakim) itu," terang Febrie, pekan lalu.
Karena
itu, Febrie, sebagai bos penyidikan, tak dapat mempertahankan penggunaan Pasal
6 ayat (1)-a untuk Andi Irfan tersebut, saat berkas perkara
limpah ke penuntutan.
JAM
Pidsus, Ali Mukartono, juga menjelaskan, penerapan sangkaan
suap-gratifikasi hakim terhadap Andi Irfan tersebut tak relevan. Karena, permufakatan jahat menerbitkan fatwa bebas MA untuk
Djoko Tjandra tersebut tak terealisasi.