Hal itu dikarenakan keduanya tidak melakukan analisa yang memadai dan mentaati prosedur pemberian kredit. Salah satunya yakni tidak terpenuhinya syarat kredit modal kerja karena hasil penilaian dari lembaga. Tercatat, Sritex hanya memiliki predikat BB- atau memiliki resiko gagal bayar yang lebih tinggi.
"Padahal seharusnya pemberian kredit tanpa jaminan hanya dapat diberikan kepada perusahaan atau debitor yang memiliki peringkat A," jelasnya.
Baca Juga:
Buruh PT Sritex Terancam Tak Dapat THR, Ini Kata DPR RI
Oleh karenanya, Qohar mengatakan pemberian kredit itu telah bertentangan dengan ketentuan standar operasional prosedur bank serta UU Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan sekaligus penerapan prinsip kehati-hatian.
Lebih lanjut, ia menjelaskan Dirut PT Sritex saat itu Iwan Setiawan Lukminto juga diduga tidak menggunakan uang kredit itu sesuai peruntukannya. Iwan malah menggunakan dana kredit tersebut untuk membayar utang dan membeli aset non produktif.
"Tidak sesuai dengan peruntukan yang seharusnya, yaitu untuk modal kerja tetapi disalahgunakan untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif," jelasnya.
Baca Juga:
11.000 Buruh Sritex di PHK, Noel: Jangan Sampai Perusahaan yang Masih Bisa Bangkit, Diputus Pailit
"Itu utang PT Sritex kepada pihak ketiga. Untuk aset yang tidak produktif, antara lain dibelikan tanah. Ada beberapa tempat, ada yang di Jogja, ada yang di Solo," imbuhnya.
Atas perbuatannya, Qohar mengatakan negara diduga telah mengalami kerugian sebesar Rp692 miliar dari total outstanding sebesar Rp3,58 triliun.
"Mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara Sebesar Rp692.980.592.188 Dari total nilai outstanding atau target yang belum dilunasi Sebesar Rp3,58 triliun," jelasnya.