WahanaNews.co, Jakarta - Kejaksaan Agung menyebut kasus dugaan korupsi 109 ton emas periode 2010-2022 dilakukan dengan melekatkan hak merek PT Antam Tbk tanpa ada perjanjian.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengatakan hal itu dilakukan antara pelanggan jasa manufaktur dengan General Manager Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) PT Antam Tbk.
Baca Juga:
Kasus Dugaan Korupsi Impor Gula, Kejagung Periksa Eks Stafsus Mendag
Harli menjelaskan perjanjian itu berhasil diungkap penyidik usai menetapkan tujuh tersangka baru yang merupakan pelanggan jasa manufaktur dari PT Antam Tbk. Ketujuh tersangka itu merupakan LE, SL, SJ, JT, HKT, GAR, dan DT.
"Masing-masing selaku pelanggan jasa manufaktur UBPP LM PT Antam Tbk telah melawan hukum dengan cara bersekongkol bersama para General Manager," jelasnya dalam keterangan tertulis, Jumat (19/7).
Melalui perjanjian itu, Harli menyebut para tersangka hanya membayarkan jasa manufaktur untuk kegiatan pemurnian, peleburan dan pencetakan emas.
Baca Juga:
Korban DNA Pro Menangis Minta Keadilan di Kejari Bandung: Desak agar Uang Sitaan segera Dikembalikan
Sementara itu, kata dia, proses pelekatan hak merek emas Logam Mulia Antam dilakukan tanpa kerja sama dan pembayaran kewajiban kepada PT Antam Tbk. Ia menyebut hal itu sengaja dilakukan untuk meningkatkan nilai jual emas milik para pengguna jasa manufaktur.
"Para tersangka mengetahui dan menyadari bahwa hal itu bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Karena LM Antam merupakan merek dagang milik PT Antam tbk yang memiliki nilai ekonomis," tuturnya.
Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung sudah menetapkan total 13 orang tersangka tersangka. Enam tersangka merupakan TK, HN, DM, AHA, MA, dan ID selaku General Manager UBPP LM PT Antam Tbk periode 2010-2021.
Sementara tujuh orang lainnya merupakan pelanggan jasa manufaktur dari UBPP LM PT Antam yakni LE, SL, SJ, JT, HKT dan GAR selaku perseorangan serta DT selaku Direktur Utama PT JTU.
Para pelaku diduga menyalahgunakan kewenangannya untuk melakukan peleburan, pemurnian dan pencetakan logam mulia secara ilegal. Akibatnya pada periode 2010 sampai 2021, sebanyak 109 ton logam mulia dengan berbagai ukuran tercetak dengan stempel palsu Antam.
[Redaktur: Alpredo Gultom]