WahanaNews.co | Polisi telah memeriksa 12 saksi kasus dugaan penipuan investasi robot trading platform DNA Pro. Kerugian yang dilaporkan korban terkait investasi tersebut mencapai Rp 97 miliar lebih.
"Terkait platform ini modus yang digunakan berupa memasarkan dan menjual aplikasi robot trading DNA Pro dengan sistem penjualan langsung yang menerapkan skema piramida. Dalam hal ini penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap 12 orang," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (4/4).
Baca Juga:
Tips Cara Trading Bitcoin untuk Pemula, Dijamin Untung!
Menurut Ahmad, para saksi yang diperiksa merupakan pelapor di antaranya RS, RBK, RK, JG, SR, DN, HW, ES, SA, YH, WN, dan satu saksi ahli perdagangan yang ditunjuk oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag).
"Adapun kasus ini total kerugian sebanyak Rp 97 miliar lebih, termasuk lima laporan pengaduan yang masuk per tanggal April 2022. Hingga saat ini kasus masih dalam proses," kata Ahmad.
Polisi memastikan akan memeriksa semua pihak terlibat dalam kasus dugaan penipuan investasi robot trading DNA Pro. Termasuk juga dari kalangan artis.
Baca Juga:
6 Tips Cara Trading Bitcoin untuk Pemula, Dijamin Untung!
"Pasti akan diperiksa semua yang terkait dengan persoalan ini akan dimintai keterangan," kata dia.
Sebanyak 242 orang pengguna robot trading dari perusahaan DNA Pro mengaku telah merugi hingga Rp73 miliar. Mereka kemudian melaporkan dugaan penipuan tersebut kepada Bareskrim Polri.
"Kami di sini diberikan kuasa sebanyak 242 orang dengan kerugian Rp73 miliar lebih lah ya," kata kuasa hukum korban, Juda Sihotang dari LQ Indonesia Law Firm di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat (1/4).
Juda menjelaskan, laporannya digabungkan dengan laporan yang sebelumnya sudah terdaftar di Bareskrim Polri dengan nomor register B/185/IV/RES.2.1/2022/Dittipideksus.
Dia mengatakan, pihaknya telah menyerahkan sejumlah barang bukti berupa nomor rekening pihak-pihak DNA Pro.
"Kita langsung menyerahkan berkas beserta bukti-buktinya dan saya serahkan semua nomor rekening mulai dari founder, co-founder, leader dari PT nasabah DNA, saat itu juga langsung diblokir semua," jelas Juda.
Juda mengungkap para korban telah bergabung DNA Pro sejak April 2021 hingga Januari 2022. Mereka diiming-imingi investasi yang bisa dicairkan kapan saja tanpa batas.
Namun sejak Kantor DNA Pro disegel Polri pada 28 Januari 2022, para pengguna robot trading ini tidak dapat mengambil uang mereka. Akibat hal tersebut, sebanyak 56 orang dilaporkan. Mulai dari pendiri PT DNA, komisaris, direksi, founder, direksi utama, dan co founder, leader bahkan top leader.
Pasal yang dipersangkakan dalam laporan adalah Pasal 3, 4, 5 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Para korban tersebar di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Papua, Ambon, Medan, Surabaya, Jember semua ada, Bali, dan Bandung.
Selain itu, sebanyak 15 orang mendatangi Polda Metro Jaya. Mereka mengaku dirugikan platform robot trading DNA Pro yang totalnya mencapai Rp 7 miliar.
"Jadi hari ini melaporkan kasus dugaan investasi bodong dalam robot trading DNA Pro. Saya mendampingi kurang lebih 15 orang yang memberikan kuasa," kata pendamping korban, Charlie Wijaya kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (29/3).
Charlie memastikan, laporan itu diterima kepolisian dengan nomor LP/B/1603/III/2022/SPKT/Polda Metro Jaya tanggal 29 Maret 2022. Charlie juga menjelaskan, bertindak sebagai pelapor dalam LP tersebut beinisial RD dan nama terlapor tertulis dalam lidik.
Terkait modus kejahatan, urai Charlie, para korban awalnya tertarik karena keuntungan yang menggiurkan jika menggunakan robot trading DNA Pro. Menurut pengakuan korban, selain akan mendapat keuntungan besar, DNA Pro mengklaim sudah legal beroperasi di Indonesia.
"Dalam DNA Pro ini mereka digiurkan dengan withdraw yang tak terhingga dan uniknya DNA Pro di dalam aplikasinya masih utuh namun tidak bisa withdraw dan tidak bisa transfer ke rekening masing-masing," Charlie menutup.
Terkait hal ini, pasal disangkakan dalam laporan adalah Pasal 28 ayat 1 junto Pasal 45A ayat 1 UU RI nomor 19 tahun 2016 tentang ITE dan atau Pasal 3, 4, 5 UU RI nomor 8 tahun 2010 tentang TPPU. [rin]