WahanaNews.co, Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango menganggap lembaga antirasuah itu seperti bayi yang tak diinginkan untuk lahir di usianya yang sudah menginjak 22 tahun saat ini.
"Hampir tidak lahir sebenarnya bayi ini. Itu kemudian harus kita simpulkan bahwa memang tidak dikehendaki lahirnya bayi KPK ini," kata Nawawi di acara 'Indonesia Integrity Forum' di Jakarta, Kamis (10/10) mengutip CNN Indonesia.
Baca Juga:
Terparkir Bertahun-tahun, KPK Klaim Temukan Mobil Harun Masiku
Nawawi mengatakan hal demikian berdasarkan penelusuran atas anomali KPK terlihat ketika awal pembentukannya.
Ia menyoroti embrio KPK berasal dari pembentukan Undang-Undang 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ia menjelaskan Pasal 43 Ayat 1 di UU tersebut disebutkan KPK harus terbentuk dalam waktu paling lambat dua tahun setelah diundangkannya aturan tersebut.
Namun, ia mengatakan pendirian KPK tak langsung lahir dua tahun usai aturan tersebut diterbitkan. Justru KPK baru terbentuk pada 27 Desember 2002.
Baca Juga:
40 Persen Capim KPK Lolos Tes Tulis Berlatar Aparat Hukum, ICW Curiga
"Harusnya dia lahir pada 16 Agustus 2001, sebab Undang-Undang 31 tahun 1999 lahir pada 16 Agustus 1999. Ini dua tahun lewat sebagaimana yang diperintahkan Undang-undang enggak lahir bayi ini," kata mantan hakim pengadilan tipikor itu.
"Lewat 1 tahun 4 bulan, tepatnya di 27 Desember 2002, baru bayi ini dilahirkan. Ada apa di masa 1 tahun 4 bulan itu?" tambahnya.
Nawawi mengatakan KPK kemudian lahir dengan sepak terjangnya yang begitu menggelora dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Namun, ia menyoroti kiprah KPK dalam memberantas korupsi mulai terombang ambing seiring perjalanan waktu. Terlebih, munculnya momen revisi UU KPK pada 2019 lalu yang melemahkan lembaga ini.
"Ironis gitu," kata dia.
Istilah trigger mechanism hilang di UU KPK baru
Tak hanya itu, Nawawi kemudian membandingkan Undang-Undang lama KPK yakni Nomor 30 tahun 2002 mengatur dalam konsiderannya ada situasi korupsi sudah sedemikian yang luar biasa sehingga diperlukan metoda, strategi pemberantasan korupsi yang baru.
Di samping itu, lanjutnya, aturan itu disebutkan juga institusi penegakan hukum korupsi yang masih ada itu dianggap tidak efektif dan tak efisien.
"Atas dasar pertimbangan itu kemudian KPK itu dijadikan sebagai trigger mechanism bagi instansi yang sudah ada gitu. Jadi KPK menjadi semacam pemicu, pendorong dan lain-lain, trigger mechanism bagi kepolisian dan kejaksaan," kata dia.
Namun, ia menyoroti revisi Undang-undang KPK pada tahun 2019 lalu tidak ada lagi istilah trigger mechanism bagi KPK. Istilah trigger mechanism itu, lanjutnya, justru diganti dengan istilah sinergitas.
"Ini harus kita artikan KPK bukan lagi lembaga yang dipakai untuk mendorong lembaga lain gitu. Tetapi KPK ini disejajarkan dengan kendaraan aparat penegak hukum lainnya itu. Kita sama ketahui kalau tiga kendaraan ini jalan, KPK paling di belakang gitu," kata dia.
[Redaktur: Alpredo Gultom]