WahanaNews.co | Partai NasDem dan Golkar memulai penjajakan koalisi untuk
menghadapi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Ketua Umum NasDem, Surya Paloh, dan Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto, sudah bertemu untuk membicarakan itu.
Baca Juga:
Koalisi Sipil Desak Polri Usut Tuntas dan Tangkap Pelaku Teror ke Redaksi Tempo
Keduanya membahas kemungkinan duet di
2024.
NasDem ingin mengajukan Calon Presiden yang ditentukan lewat
konvensi. Sementara Golkar ditawari kursi Calon Wakil Presiden.
Pengamat politik Universitas Andalas,
Asrinaldi, menganggap langkah Golkar-NasDem itu sebagai bentuk pencegatan atau antisipasi.
Baca Juga:
Koalisi Permanen Prabowo: Soliditas Kian Erat, NasDem Masih Pikir-pikir
Kedua partai mulai menjajaki kerjasama
lantaran PDIP dan Gerindra diprediksi bakal berkoalisi di Pilpres 2024.
"Memang inisiasi koalisi ini untuk mengantisipasi koalisi PDIP dan Gerindra. Saya meyakini, pembicaraannya arahnya ke sana, walaupun
baru penjajakan atau tahap awal," kata Asrinaldi, saat
dihubungi wartawan, Selasa (2/3/2021).
Asrinaldi berpendapat, koalisi Gerindra-PDIP akan jadi kekuatan serius di 2024.
Total kepemilikan suara hasil Pemilu
2019 lalu, dua partai itu mencapai 31,9 persen dan memiliki total 206 kursi
DPR (PDIP 128, Gerindra 78).
Menurutnya, Paloh dan Airlangga sadar
akan kekuatan itu. Hingga kemudian keduanya menyiapkan basis koalisi sejak dini
untuk persiapan di 2024.
Kepemilikan suara hasil Pemilu 2019
Golkar dan NasDem, jika digabung, mencapai 21,36 persen dan memiliki
total 143 kursi DPR (Golkar 85, NasDem 59).
Jumlah itu juga lebih dari cukup untuk
mengusung Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.
"Kita tahu, Surya Paloh dan Airlangga Hartarto itu king maker. Mereka
ini sebagai yang mengatur," kata Asrinaldi.
"Dengan menempatkan sebagai
inisiator koalisi, mereka (Golkar dan Nasdem) akan mendapatkan keuntungan dalam
menyusun Capres dan Cawapres," sambungnya.
Sementara itu, peneliti politik LIPI, Wasisto Jati, melihat rencana koalisi Golkar-Nasdem
sebagai bentuk respons terhadap hasil survei beberapa waktu terakhir.
Wasisto berpendapat, dua partai mencuri start
untuk mempersiapkan diri. Sebab, keduanya tahu akan berhadapan dengan
kekuatan Gerindra dan PDIP.
Terlebih lagi sejumlah survei menyebut
nama Prabowo Subianto dari Gerindra dan Ganjar Pranowo dari PDIP jadi kandidat
kuat.
Sementara nama-nama dari NasDem dan
Golkar tak masuk jajaran kandidat potensial untuk 2024.
"Hasil survei belakangan ini
menempatkan beberapa figur dari Gerindra atau PDIP menjadi terdepan. Bisa dibilang
ini adalah respons hasil survei sekarang demi tujuannya mengamankan posisi di
2024," kata Wasisto, saat dihubungi wartawan, Selasa (2/3/2021).
Wasisto menilai, koalisi ini akan jadi kekuatan yang patut diperhitungkan. Koalisi
Golkar-NasDem akan menarik perhatian partai lain untuk bergabung.
Nasdem memiliki kekuatan finansial dan
dukungan grup media massa. Sementara Golkar punya infrastruktur politik yang
mumpuni peninggalan Orde Baru.
"Tinggal kandidat yang diusung
yang akan menentukan," tuturnya.
Koalisi Kepagian
Pengamat politik Universitas Andalas,
Asrinaldi, menilai, pembicaraan koalisi antara Golkar
dengan NasDem masih terlalu pagi. Sebab,
penyelenggaraan Pilpres masih sangat jauh.
"Menurut saya, ini terlalu awal. Paling tidak, di 2022-lah. Ini kan baru penjajakan," ucap
Asrinaldi.
Meski begitu, ia menyebut langkah ini
juga baik dilakukan. Sebab, Golkar dan NasDem jadi punya banyak
waktu untuk mempersiapkan diri.
Asrinaldi mengatakan, Golkar dan NasDem berupaya membentuk pondasi awal koalisi. Setelah
berjalan, maka besar kemungkinan partai lain akan bergabung.
Peneliti politik LIPI, Wasisto Jati, pun berpendapat serupa. Menurutnya, penjajakan koalisi untuk menghadapi Pilpres 2024 cenderung
terlalu dini.
Ia berpendapat, harusnya
partai-partai pendukung pemerintah fokus menyelesaikan tugas pemerintahan.
Terlebih, Ketua Umum Golkar pun
termasuk menteri dalam kabinet, yakni Airlangga Hartarto.
Menurutnya, Presiden Joko Widodo harus
bertindak terkait hal ini.
Jokowi diminta turun tangan menertibkan
para pembantunya demi kinerja kabinet yang optimal hingga masa jabatan
berakhir.
"Bagaimanapun pemerintahan ini
harus jalan sampai 2024. Jangan sampai bahteranya bocor di lambung. Saya pikir
ketegasan presiden di sini diperlukan untuk mengonsolidasikan pembantunya,"
ucap Wasisto. [qnt]